BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Peran
Bahasa Dalam Sarana Berfikir Ilmiah
Bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam
seluruh proses berpikir ilmiah. Definisi bahasa menurut Jujun Suparjan
Suriasumantri menyebut bahasa sebagai serangkaian bunyi dan lambang yang
membentuk makna. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diterangkan
bahwa bahasa ialah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh
para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan
mengidentifikasikan diri. Jadi bahasa menekankan pada bunyi, lambang,
sistematika, komunikasi.
Adapun ciri-ciri bahasa di antaranya yaitu:
a.
Sistematis
artinya memiliki pola dan aturan.
b.
Arbitrer
(manasuka) artinya kata sebagai simbol berhubungan secara tidak logis dengan
apa yang disimbolkannya.
c.
Ucapan/vokal.
Bahasa berupa bunyi
d.
Sebagai
symbol yang mengaju pada objeknya dan lain sebagainya.
Kelemahan bahasa dalam menghambat komunikasi ilmiah yaitu :
Bahasa mempunyai multifungsi (ekspresif, konatif, representasional, informatif, deskriptif, simbolik, emotif, afektif) yang dalam praktiknya sukar untuk dipisah-pisahkan. Akibatnya, ilmuwan sukar untuk membuang faktor emotif dan afektifnya ketika mengomunikasikan pengetahuan informatifnya.
Bahasa mempunyai multifungsi (ekspresif, konatif, representasional, informatif, deskriptif, simbolik, emotif, afektif) yang dalam praktiknya sukar untuk dipisah-pisahkan. Akibatnya, ilmuwan sukar untuk membuang faktor emotif dan afektifnya ketika mengomunikasikan pengetahuan informatifnya.
Keunikan manusia bukanlah terletak pada kemampuannya
berfikir melainkan terletak pada kemampuannya berbahasa. Oleh karena itu,
Ernest menyebut manusia sebagai Animal Symbolycum, yaitu makhluk yang
mempergunakan symbol. Bahasa Sebagai sarana komunikasi maka segala yang
berkaitan dengan komunikasi tidak terlepas dari bahasa, seperti berfikir sistematis
dalam menggapai ilmu dan pengetahuan. Dengan kata lain, tanpa mempunyai
kemampuan berbahasa, seseorang tidak dapat melakukan kegiatan berfikir sebagai
secara sistematis dan teratur. Dengan kemampuan kebahasaan akan
terbentang luas cakrawala berfikir seseorang dan tiada batas dunia. Yang
dimaksud bahasa disini ialah bahasa ilmiah yang merupakan sarana komunikasi
ilmiah yang ditujukan untuk menyampaikan informasi yang berupa pengetahuan,
syarat-syarat bebas dari unsur emotif, reproduktif, obyektif dan eksplisit.
Bahasa memegang peran penting dan suatu hal yang lazim dalam
kehidupan manusia. Kelaziman tersebut membuat manusia jarang memperhatiakan
bahasa dan menggapnya sebagai suatu hal yang bisa, seperti bernafas dan
berjalan. Padahal bahasa mempunyai pengaruh-pengaruh yang luar biasa dan
termasuk yang membedakan manusia dari ciptaan lainnya. Banyak ahli bahasayang
telah memberikan uraiannya tentang pengertiannya tentang pegertian bahasa.
Pernyataan tersebut tentunya berbeda-beda cara menyampikannya.
Seperti pendapat Bloch and Trager mengatakan bahwa : a language is a
system of arbitrary vocal symbols by means of which asocial group cooperates
(bahasa adalah suatu sistem simbol-simbol bunyi yang arbitrer yang dipergunakan
oleh suatu kelompok sosial sebagai alat untuk komunikasi). Peran bahasa disini
adalah sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran seluruh proses
berpikir ilmiah dan sebagai sarana komunikasi antar manusia tanpa bahasa tiada
komunikasi.
Adapun ciri-ciri bahasa ilmiah yaitu:
1.
Informatif
yang berarti bahwa bahasa ilmiah mengungkapan informasi atau pengetahuan.
Informasi atau pengetahuan ini dinyatakan secara eksplisit dan jelas untuk
menghindari kesalah pahaman Informasi.
2.
Reproduktif
adalah bahwa pembicara atau penulis menyampaikan informasi yang sama dengan
informasi yang diterima oleh pendengar atau pembacanya.
3.
Intersubjektif,
yaitu ungkapan-ungkapan yang dipakai mengandung makna-makna yang sama bagi para
pemakainya
4.
Antiseptik
berarti bahwa bahasa ilmiah itu objektif dan tidak memuat unsur emotif,
kendatipun pada kenyataannya unsur emotif ini sulit dilepaskan dari unsur
informatif.
Bahasa
ilmiah berfungsi sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran
seluruh proses berpikir ilmiah. Yang dimaksud bahasa disini ialah bahasa ilmiah
yang merupakan sarana komunikasi ilmiah yang ditujukan untuk menyampaikan
informasi yang berupa pengetahuan dengan syarat-syarat: Bebas dari unsur
emotif, Reproduktif, Obyektif, Eksplisit.
Bahasa pada hakikatnya mempunyai dua fungsi utama yakni,
a.
Sebagai
sarana komunikasi antar manusia.
b.
Sebagai
sarana budaya yang mempersatukan kelompok manusia yang mempergunakan bahasa
tersebut.
Bahasa adalah unsur yang berpadu dengan unsur-unsur lain di
dalam jaringan kebudayaan. Pada waktu yang sama bahasa merupakan sarana
pengungkapan nilai-nilai budaya, pikiran, dan nilai-nilai kehidupan
kemasyarakatan. Oleh karena itu, kebijaksanaan nasional yang tegas di dalam
bidang kebahasaan harus merupakan bagian yang integral dari kebijaksanaan
nasional yang tegas di dalam bidang kebudayaan. Perkembangan kebudayaan
Indonesia ke arah peradaban modern sejalan dengan kemajuan dan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut adanya perkembangan cara berpikir yang
ditandai oleh kecermatan, ketepatan, dan kesanggupan menyatakan isi pikiran
secara eksplisit.
Berpikir dan mengungkapkan isi pikiran ini harus dipenuhi
oleh bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi dan sebagai sarana berpikir
ilmiah dalam hubungan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta modernisasi masyarakat Indonesia. Selain itu, mutu dan kemampuan
bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi keagamaan perlu pula
ditingkatkan. Bahasa Indonesia harus dibina dan dikembangkan
sedemikian rupa sehingga ia memiliki kesanggupan menyatakan dengan tegas,
jelas, dan eksplisit konsep-konsep yang rumit dan abstrak.
Para ahli filsafat bahasa dan psikolinguitik melihat fungsi
bahasa sebagai sarana untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan
emosi. Sedangkan aliran sisiolinguistik berpendapat bahwa fungsi bahasa adalah
sarana untuk perubahan masyarakat. Walaupun terdapat perbedaan tetapi pendapat
ini saling melengkapi satu sama lainnya. Secara umum dapat dinyatakan bahwa
fungsi bahasa adalah :
1.
Koordinator
kegiatan-kegiatan dalam masyarakat.
2.
Penetapan
pemikiran dan pengungkapan.
3.
Penyampaian
pikiran dan perasaan
4.
Penyenangan
jiwa
5.
Pengurangan
kegonjangan jiwa
Kneller mengemukakan 3 fungsi bahasa yaitu:
1.
Simbolik
menonjol dalam komunikasi ilmiah.
2.
Emotif
menonjol dalam komunikasi estetik.
3.
Afektif
(George F. Kneller dalam jujun, 1990, 175).
Komunikasi dengan mempergunakan bahasa akan mengandung unsur
simbolik dan emotif, artinya, kalau kita berbicara maka pada hakikatnya
informasi yang kita sampaikan mengandung unsur-unsur emotif, demikian juga kalau
kita menyampaikan perasaan maka ekspresi itu mengandung unsur-unsur
informatife. Menurut Jujun S. Suriasumantri, 1990, 175, dalam komunikasi ilmiah
proses komunikasi itu harus terbebas dari unsur emotif, agar pesan itu
reproduktif, artinya identik dengan pesan yang dikirimkan.
Menurut Halliday sebagaimana yang dikutip oleh Thaimah bahwa
fungsi bahasa adalah sebagai berikut:
1.
Instrumental
yaitu: penggunaan bahasa untuk mencapai suatu hal yang bersifat
materi seperti makan, minum, dan sebagainya.
2.
Fungsi
Regulatoris yaitu: penggunaan bahasa untuk memerintah dan perbaikan
tingkah laku.
3.
Fungsi
Interaksional yaitu: penggunaan bahasa untuk saling mencurahkan perasaan
pemikiran antara seseorang dan orang lain.
4.
Fungsi
Personal yaitu: seseorang menggunakan bahasa untuk mencurahkan perasaan dan
pikiran.
5.
Fungsi
Heuristik yaitu : penggunaan bahasa untuk mengungkap tabir fenomena dan
keinginan untuk mempelajarinya.
6.
Fungsi
Imajinatif yaitu: penggunaan bahasa untuk mengungkapkan imajinasi
seseorang dan gambaran-gambaran tentang discovery seseorang dan tidak sesuai
dengan realita (dunia nyata).
7.
Fungsi
Representasional yaitu: penggunaan bahasa untuk menggambarkan pemikiran dan
wawasan.
8.
Untuk
menelaah bahasa ilmiah perlu dijelaskan tentang pengolongan bahasa.
Ada dua pengolongan bahasa yang umumnya dibedakan yaitu :
a.
Bahasa
alamiah yaitu bahasa sehari-hari yang digunakan untuk menyatakan sesuatu, yang
tumbuh atas pengaruh alam sekelilingnya. Bahasa alamiah dibagi menjadi
dua yaitu: bahasa isyarat dan bahasa biasa.
b.
Bahasa
buatan adalah bahasa yang disusun sedemikian rupa berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan akar pikiran untuk maksud tertentu. Bahasa buatan
dibedakan menjadi dua bagian yaitu: bahasa istilah dan bahasa antifisial atau
bahasa simbolik.
Perbedaan bahasa alamiah dan bahasa buatan adalah sebagai
berikut:
1.
Bahasa
alamiah antara kata dan makna merupakan satu kesatuan utuh, atas dasar
kebiasaan
sehari-hari, karena bahasanya secara
spontan, bersifat kebiasaan, intuitif (bisikan hati) dan pernyataan langsung.
2.
Bahasa
buatan antara istilah dan konsep merupakan satu kesatuan bersifat relatif, atas
dasar pemikiran akal karena bahasanya berdasarkan pemikiran, sekehendak hati,
diskursif (logika, luas arti) dan pernyataan tidak langsung.
Dari uraian diatas tentang bahasa, bahasa buatan inilah yang
dimaksudkan bahasa ilmiah. Dengan demikian bahasa ilmiah dapat dirumuskan,
bahasa buatan yang diciptakan para ahli dalam bidangnya dengan mengunakan
istilah-istilah atau lambang-lambang untuk mewakili pengertian-pengertian
tertentu. Dan bahasa ilmiah inilah pada dasarnya merupakan kalimat-kalimat
deklaratif atau suatu pernyataan yang dapat dinilai benar atau salah,
baik mengunakan bahasa biasa sebagai bahasa pengantar untuk mengkomunikasikan
karya ilmiah.
2.2
Peran
Matematika Dalam Sarana
Berfikir Ilmiah
Matematika Sebagai Bahasa
Matematika
adalah bahasa melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin kita
sampaikan. Lambing-lambang matematika bersifat “artificial” yang baru mempunyai
arti setelah sebuah makna diberikan padanya. Tanpa itu matematika hanya
merupakan kumpulan rumus-rumus yang mati. Yang paling sukar untuk menjelaskan
kepada seorang yang baru belajar matematika, keluh Alfred North Whitehead,
ialah bahwa x itu sama sekali tidak berarti.
Bahasa
verbal seperti telah kita lihat sebelumnya mempunyai beberapa kekurangan yang
sangat mengganggu. Seorang suami istri yang sedang berbulan madu itu mengalami
sendiri betapa sengsara jadinya disebabkan komunikasi yang buntu. Perkataan
“setan”, umpamanya, bisa kedengaran sangat “sip” bila ditafsirkan sacara asyik;
namun bagaimana kalau suasana sedang out,
dunia lantas terbalik? (tidak bisa toh kita mengadukan seorang karena
menyebut kita “babi”; bagaimana kalau perkataan itu diucapkan penuh puisi:
babiku, my babi, mont cher, sayang!).
Untuk
mengatasi kekurangan yang terdapat pada bahasa maka kita berpaling kepada
matematika. Dalam hal ini dapat kita katakana bahwa matematika adalah bahasa yang berusaha untuk menghilangkan sifat kubur,
majemuk emosional dari bahasa verbal. Lambang-lambang dari matematika dibikin
secara artifisal dan individual merupakan perjanjian yang berlaku khusus untuk
masalah yang akan kita kaji.sebuah objek yang sedang kita telaah dapat kita
lambangkan dengan apasaja sesuai dengan perjanjian kita. Umpanya kita sedang
mempelajari kecepatan jalan kaki seorang anak maka obyek “kecepatan jalan kaki
seorang anak” tersebut dapat dilambangkan dengan x. dalam hal ini maka x hanya
mempunyai satu arti yakni “kecepatan jalan kaki seorang anak”. Lambang
matematika yang berupa x ini kiranya mempunyai arti yang jelas yakni “kecepatan
jalan kaki seorang anak”. Di samping itu lambing x tidak bersifat majemuk sebab
x hanya dan hanya melambangkan “kecepatan jalan kaki seorang anak” dan tidak
mempunyai pengertian lain. Demikian juga jika kita hubungkan “kecepatan jalan
kaki seorang anak” dengan obyek lain umpanya “jarak yang ditempuh seorang anak”
(yang kita lambangkan dengan y) maka kita dapat melambangkan hubungan tersebut
sebagai z = y/x di mana z melambangkan “waktu berjalan kaki seorang anak”.
Pernyataan mengemukakan informasi mengenai hubungan antara x, y, dan z. secara
ini maka pernyataan matematika mempunyai sifat yang jelas, spesifik dan
informatik dengan tidak menimbulkan konotasi yang bersifat emosional.
Sifat kuantitatif dari matematika
Matematika mempunyai kelebihan lain
dibandingkan dengan bahasa verbal. Mateematika mengembangkan bahasa numeric
yang memungkinkan kita untuk melakukan pengaturan secara kuantitatif. Dengan
bahasa verbal bila kita membandingkan dua obyek yang berlainan umpanya gajah
dan semut maka kita hanya bisa mengatakan gajah lebih besar dari semut. Kalau
kita ingin menelurus lebih lanjut berapa besar gajah dibandingkan dengan semut
maka kita mengalami kesukaran dalam mengemukakan hubungan itu. Kemudian jika
sekiranya., kita ingin mengetahui secara eksak berapa besar gajah bila
dibandingkan dengan semut maka dengan bahasa verbal kita dapat mengatakan
apa-apa.
Bahasa verbal hanya mampu
mengemukakan peryataan yang bersifat kualitatif. Demikian juga maka penjelasan
dan ramalan yang diberikan oleh ilmu dalam bahasa verbal semuanya bersifat
kualitatif. Kita bisa mengetahui bahwa logam kalau dipanaskan akan memanjang. Hal
ini menyebabkan penjelasan dan ramalan yang diberikan oleh bahasa verbal tidak
berifat eksak, menyebabkan daya prediktif dan control ilmu kurang cermat dan
tepat.
Untuk mengatasi masalah ini
matematika mengembangkan konsep pengukuran. Lewat pengukuran, maka kita dapat
mengetahui dengan tepat berapa panjang sebatang logam dan berapa pertambahan
panjangnya kalau logam itu dipanaskan. Dengan mengetahui hal ini maka
pernyataan ilmiah yang berupa pernyataan kualitatif seperti “sebatang logam
kalau dipanaskan akan memanjang” dapat diganti dengan pernyataan matematika
yang lebih eksak umpanya :
P1 = Po
(1
+ ñt)
Di
mana P1 merupakan
panjang logam pada temparatur t, Po merupakan panjang logam tersebut pada
temperature nol dan ñ merupakan koefesien pemuai logam tersebut.
Sifat kuantitatif dari matematika
ini meningkatkan daya prediktif dan control dari ilmu. Ilmu memberikan jawaban
yang lebih bersifat eksak yang memungkinkan pemecahan masalah secara lebih
tepat dan cermat. Matematika memungkinkan ilmu mengalami perkembangan dari
tahap kualitatif ke kuantitatif. Perkembangan ini merupakan suatu hal yang
imperative bila kita menghendaki daya prediksi dan control yang lebih tepat dan
cermat dari ilmu. Beberapa disiplin keilmuan, terutama ilmu-ilmu sosial
mengalami kesukaran dalamm perkembangan yang bersumber pada problema teksnis
dan dalam pengukuran. Kesukaran ini secara bertahap tela mulai dapat diatasi,
dan akhir-akhir ini kita melihat perkembangan yang menegmbirakan, di mana
ilmu-ilmu sosial telah mulai melakukan oleh semua disiplin keilmuan untuk
meningkatkan daya prediksi dan control dari ilmu tersebut.
Matematika: Sarana
Berpikir Deduktif
Kita semua kiranya mengenal bahwa
jumlah sudut dalam sebuah segitiga adalah 180 derajat. Pengetahuan ini mungkin
saja kita dapat dengan jalan, mengukur sudut-sudut dalam sebuah segitiga dan
kemudian menjumlahkannya. Di pihak lain, pengetahuan ini bisa didapatkan secara
deduktif dengan mempergunakan matematika. Seperti diketahui berpikir deduktif
adalah proses pengambilan kesimpulan yang didasarkan kepada premis-premis yang
kebenarannya telah ditentukan. Untuk menghitung jumlah sudut segitiga tersebut
kita mendasarkan kepada premis bahwa kalau terdapat dua garis sejajar maka
sudut-sudut yang dibentuk kedua garis sejajar tersebut dengan garis segitiga
adalah sama. Premis yang kedua adalah bahwa jumlah sudut yang dibentuk oleh sebuah garis lurus adalah 180 derajat.
Kedua premis kemudian kita rapikan
dalam berpikir deduktif untuk menghitung jumlah sudut-sudut dalam segitiga.
Dalam hal ini kita melihat bahwa dalam segitiga ABC kalau kita tarik garis P
malalui titik A yang sejajar dengan BC maka pada titik A dapat didapatkan tiga
sudut yakni, £1, £2, dan £3, yang ketiga-tiganya membentuk suatu garis lurus.
Jadi dengan contoh di atas secara
deduktif matematika menemukan pengetahuan yang bari berdasarkan premis-premis
yang tertentu. Pengetahuan yang ditemukan ini sebenarnya hanyalah merupakan
konsekuensi dari pernyataan-pernyataan ilmiah yang telah kita temukan
sebelumnya,. Meskipun “tak pernah ada kejutan dalam logika” namun pengetahuan
yang didapatkan secara deduktif ini sungguh sangat berguna dan memberikan
kejutan yang sangat menyenangkan. Dari beberapa premis yang telah kita ketahui
kebenarannya dapat ditemukan pengetahuan-pengetahuan lainnya yang memperkaya
perbendaharaan ilmiah kita.
Perkembangan
Matematika
Ditinjau dari perkembangannya maka ilmu
dibagi dalam tiga tahap yakni tahap sistematika, komperatif dan kuantitatif.
Pada tahap sistematika maka ilmu mulai menggolong-golongkan obyek empiris ke
dalam kategori-kategori tertentu. Penggolongan ini memungkinkan kita untuk
menemukan ciri-ciri yang bersifat umum dari anggota-anggota yang menjadi
kelompok tertentu. Ciri-ciri yang bersifat umum ini merupakan pengetahuan bagi
manusia dalam mengenali dunia fisik. Dalam tahap yang kedua kita mulai
melakukan perbandingan antara obyek yang satu dengan obyek yang lain, kategori
yang satu dengan yang lain, dan seterusnya. Kita mulai mencari hubungan yang
didasarkan kepada perbandingan antara di berbagai obyek yang kita kaji. Tahap
selanjutnya adalah tahap kuantitatif di mana kita mencari hubungan sebab akibat
tidak lagi berdasarkan perbandingan melainkan berdasarkan pengukuran yang eksak
dari obyek yang sedang kita selidiki. Bahasa verbal berfungsi dengan baik dalam
kedua tahap yang pertama namun dalam tahap yang ketiga maka pengetahuan
membutuhkan matematika. Lambing-lambang matematika bukan saja jelas namun juga
eksak dengan mengandung informasi tenang obyek tertentu dalam dimensi-dimensi
pengukuran.
Di samping sebagai bahasa maka
matematika juga berfungsi sebagai alat berpikir. Ilmu merupakan pengetahuan
yang mendasarkan kepada analisis dalam menarik kesimpulan menurut suatu pola
berpikir tertentu. Matematika, menurut Wittgenstein, tak lain adalah metode
berpikir logis. Berdasarkan perkembangannya maka masalah yang dihadapi logika
makin lama makin rumit dan membutuhkan struktur analisis yang menjadi
matematika, seperti disimpulkan oleh Berrrand Russell, “matematika adalah masa
kedewasaan logika, sedangkan logika adalah masa kecil matematika”.
Matematika pada garis besarnya
merupakan pengetahuan yang disusun secara konsisten beradasarkan logika
deduktif. Berrrand Russell dan Whitehead dalam karyanya yang monumental yang
berjudul Principia mathematika mencoba
membuktikan bahwa dalil-dalil matematika pada dasarnya adalah pernyataan logika
meskipun tidak seluruhnya berhasil. Piere de fermat (1601-1655) mewariskan
teorema yang terakhir yang merupakan teka-teki (enigma) yang menantang pemikiran-pemikiran matematik yang paling
ulung dan tak kunjung terpecahkan. Dia menyatakan bahwa xⁿ + yⁿ dengan x, y, z
dan n adalah bilangan bulat positif yang tidak mempunyai jawaban bila n = 2.
Atau dengan perkataan lain hanya bilangan 1 dan 2 yang memenuhi persyaratan ini
seperti 3¹
+ 4¹ = 7¹ (penjumlahan biasa) dan 3² + 4² = 5².
Fermat
sendiri mengaku bahwa dia dapat membuktikan rumus ini namun disebabkan tempat
yang terbatas.
Maka sayang sekali bukti itu dapat disampaikannya. Sayang sekali memang mengapa format
tidak menyertakan pembuktian rumus tersebut yang sampai sekarang tetap
merupakan tantangan bagi logika deduktif meskipun secara mudah dapat
didemonstrasikan kebenarannya.
Memang tidak semua ahli filsafat
setuju dengan pernyataan bahwa matematika adalah pengetahuan yang bersifat
deduktif. Immanuel Kant (1724-1804) umpamanya berpendapat bahwa matematika
merupakan pengetahuan sintetik a priori
di mana eksistensi matematika tergantung kepada dunia pengalaman kita. Namun
pada dasarnya dewasa ini orang berpendapat bahwa matematika merupakan
pengetahuan yang bersifat nasional yang kebenarannya tidak tergantung kepada
pembuktian secara empiris. Perhitungan matematika bukanlah suatu ekperimen,
kata Wittgenstein, sebuah pernyataan matematika tidaklah mengespresikan produk
pikiran (tentang obyek yang faktual).
Di samping sarana berpikir deduktif
yang merupakan aspek estetik, matematika juga merupakan kegunaan praktis dalam
kehidupan sehari-hari. Semua masalah kehidupan yang membutuhkan pemecahan
secara cermat dan teliti tidak mau harus berpaling kepada matematika. Dari
mempelajari bintang-bintang di langit sampai mengukur panjang papan untuk
membuat rumah orang memerlukan pengukuran dan perhitungan sistematik. Dalam
perkembangannya maka kedua aspek estetik dan praktis dari matematika ini silih
berganti mendapatkan perhatian terutama bila dikaitkan dengan kegiatan
pendidikan.
Bagi dunia keilmuan matematika
berperan sebagai bahasa simbolik yang memungkinkan terwujudnya komunikasi yang cermat
dan tepat. Matematika dalam hubungannya dengan komunikasi ilmiah mempunyai
peranan ganda, kata Fehr, yakni sebagai ratu dan sekaligus pelayanan ilmu. Di
satu pihak, sebagai ratu matematika merupakan bentuk tertinggi dari logika,
sedangkan di lain pihak, sebagai pelayan matematika memberikan bukan saja
system pengorganisasian ilmu yang bersifat logis namun juga
pernyataan-pernyataan dalam bentuk model matematik. Matematika bukan saja
menyampaikan informasi secara jelas dan tepat namun juga singkat. Suatu rumus
yang ditulis dengan bahasa verbal memerlukan kalimat yang banyak sekali, di
mana makin banyak kata-kata yang dipergunakan maka makin besar pula peluang
untuk terjadinya salah informasi dan salah interpretasi, maka dalam bahasa
matematik cukup ditulis dengan model yang sederhana sekali. Matematika sebagai
bahasa mempunyai ciri, sebagaimana dikatakan Morris Kline, bersifat ekonomis
dengan kata-kata.
Adanya dua system ilmu ukur yang
keduanya bersifat konsisten ini bukan berarti bahwa system Ilmu Ukur Euclid
atau Ilmu Ukur Non-Euclid ini bersifat benar atau salah sebab hal ini dilihat
dalam ruang lingkupnya masing-masing. Matematika bukanlah merupakan pengetahuan
mengenai obyek tertentu melainkan cara berpikir untuk mendapatkan pengetahuan
tersebut. Kalau obyek yang ditelaah itu mempunyai cirri-ciri yang cocok dengan
postulat Euclid umpamanya dalam bidang mekanika klasik Newton maka jelas bahwa
ilmu ukur non-Euclid ini tidak dapat
dipakai. Sedangkan dalam pengkajian mengenal alam semesta, di mana cahaya
menjadi garis lengkung bersama tarikan gravitasi dan jarak terdekat antara dua
obyek tidak lagi merupakan garis lurus, maka dalam hal ini kita berpaling
kepada ilmu ukur non-Euclid. Jadi kedua system ilmu ukur ini berlaku tergantung
dari postulat yang dipergunakannya.
Beberapa Aliran dalam
Filsafat Matematika
Dalam bagian terdahulu telah disebutkan
dua pendapat tentang matematika yakni dari Immanuel Kant (1724 – 1804) yang
berpendapat bahwa matematika merupakan pengetahuan yang bersifat sintetik
apriori di mana eksistensi matemaatika tergantung dari pancaindera serta
pendapat dari aliran yang disebut logistic
yang berpendapat bahwa matematika merupakan cara berpikir logis yang salah
atau benarnya dapat ditentukan tanpa mempelajari empiris. Akhir-akhir ini
filsafat Kant tentang matematika ini mendapat momentum baru dalam aliran yang
disebut intuisionis dengan eksponen
utamanya adlah seorang ahli matematika berkebangsaan Belanda bernama Jan
Brouwer (1881-1966).
Di samping dua aliran ini terdapat pula
aliran ketiga yang dipelopori oleh David Hilbert (1862-1943) dan terkenal
dengan sebutan kaum formalis.
Kiranya dari pembahasan di atas Nampak
jelas bahwa tidak satu pun dari ketiga aliran dalam filsafat matematika ini
sepenuhnya berhasil dalam usahanya. Walaupun demikian perbedaan pandangan ini
tidak melemahkan perkembangan matematika malah justru sebaliknya di mana satu
aliran memberi inspirasi kepada aliran-aliran lainnya dalam titik-titik
pertemuan yang disebut Black sebagai kompromi yang bersifat eklektik. Kaum
logistic mempergunakan system symbol yang diperkembangkan oleh kaum formalis
dalam kegiatan analisisnya. Kaum intuisionis memberikan titik tolak dalam
perspektif kebudayaan suatu masyarakat tertentu yang memungkinkan
diperkembangkannya filsafat pendidikan matematika yang sesuai. Ketiga
pendekatan dalam matematika ini, lewat pemahamannya masing-masing, memperkukuh
matematika sebagai sarana kegiatan berpikir deduktif.
Matematika dan
Peradaban
Matematika merupakan bahasa
artificial yang dikembangkan untuk menjawab kekurangan bahasa verbal yang
bersifat alamiah. Untuk itu maka diperlukan usaha tertentu untuk menguasai
matematika dalam bentuk kegiatan belajar. Jurang antara mereka yang belajar dan
mereka yang tidak (atau enggan) belajar ternyata makin lama makin lebar.
Matematikanya makin lama makin bersifat abstrak dan eksoterik yang makin jauh
dari tangkapan orang awam.
Matematika tanpa kita sadari memang
bisa menjadi tujuan dan bukan alat itu sendiri, seperti pengamatan anak kecil
itu yang menggerutu, “Dikiranya hanya angka-angka saja mereka bisa mengetahui
sesuatu”. Gejala ini kemungkinan besar disebabkan karena kita kurang mengetahui
tentang hakikat yang sebenarnya dari matematika. Tulisan ilmiah umpamanya lalu
berubah menjadi kumpulan rumus dan table yang tidak berbicara apa-apa. Namun
pihak lain ketidaktahuan tentang matematika ini sering menyebabkan suatu bidang
keilmuan terpaku pada tahap kualitatif, di mana tanpa mengurangi rasa
penghargaan kita kepadanya, tetap pengkajian kualitatif dan kuantitatif ilmiah,
meminjam perkataan pangeran kecil kita, ilmu sampai kepada pengetahuan yang
dewasa. Analog dengan pernyataan Bertrand Russell tentang hubungan antara
logika dan matematika mungkin kita bisa berkata “ilmu kualitatif adalah masa
kecil dari ilmu kuantitatif, ilmu kuantitatif merupakan masa dewasa ilmu kualitatif,
di mana ilmu yang sehat, seperti juga kita manusia, adalah terus tumbuh dan
mendewasa.
Angka tidak bertujuan menggantikan
kata-kata; pengukuran sekadar unsure dalam menjelaskan persoalan menjadi pokok
analisis utama. Teknik matematika yang tinggi bukan merupakan penghalang untuk
mengkomunikasikan pernyataan yang dikandungnya dalam kalimat-kalimat yang
sederhana.
2.3
Peran
Statistitika Dalam Sarana Berfikir Ilmiah
Suatu
hari seorang anak kecil disuruh ayahnya membeli serbuk korek api dengan pesan
agar tidak terkecoh mendapatkn korek api yang jelek. Tidak lama kemudian anak
kecil itu datang kembali dengan wajah yang berseri-seri, menyerahkan kotak
korek api yang kosong, dan berkata “ korek
api ini benar-benar bagus, pak, semua batangnya telah saya coba dan ternyata
menyala.”
Tak
seorang pun, saya kira, yang bisa menyalakan kesahihan proses penarikan
kesimpulan anak itu, namun bila semua pengajian dilakukan seperti ini lalu
bagaimana nasib tukang duren? Demikian
juga halnya dengan orng yang kecanduan lotere, bertanya pada angin dan rumput
–rumput yang bergoyang, “Bagaimana
caranya memenangkan nalo ? “ pertanyaan yang rumit ini jawabannya ternyata
sangat sederhana, beli saja semua karcis lotere. Namun bukan dengan jalan
membeli semu karcis lotere itu, tentu saja, yang menyebabkan orang tidak
henti-hentinya berfikir bagaimana cara memenangkan perjudin yang berdasarkan
untung-untungan ini, kita lihat dipinggir-pinggir jalan para “ ahli matematika
kaki lima” menguraikn rumus-rumusnya dalam meramalkan nomor yang akan menang,
campuran antara metafisika, astrologi, astral dan 1001 omong kosong (serta
banyak lagi dali-dalinya termasuk sistem analisis dan input-output leontief).
Sekitar tahun 1645, seorang ahli
matematika amatir, chevalier de mere, mengajukan beberapa permasalahan mengenai
judi semacm ini kepeda seorang ahli mtematika prancis blaise pascal
(1623-1662), pascal, seorang jenius dalam bidang matematika, dalam umur 16
tahun telah menghasilkan karya-karya ilmiah yang mengagumkan;) dan descartes
(1596-1650) pernah dikatakan tidak percaya bahwa karya-karya tersebut
dihasilkan oleh anak muda itu,) pscal tertarik dengan permasalahan yang
berlatar belakang teori ini dn kemudian mengadakan korespondensi dengan ahli
matematika prancis lainnya pierre de fermat (1601-1665), dan keduanya
mengembangkan cikal bakl teori peluang. Dikisahkan bahwa Descarts, ketik
mempelajari hukum diuniversitas politiers antara tahun 1612 sampai 1616, juga
bergaul dengan teman-teman yang suka berjudi, namun Descarts kebanyakan menang
karena dia pandai menghitung peluang.
Pendeta thomas bayes pada tahun 1763
mengembangkan teori peluang subyektif berdasarkan kepercayaan seseorang
akan terjadinya suatu kejadin. Teori ini berkembang menjadi cabang khusus dalam
statistiks sebagai pelengkap teori peluang yang bersifat obyektif.)
Peluang yang merupakan dasar dari
teori statistika, merupakan konsep baru yang tidak dikenal dalam pemikiran
yunani kuno, romawi dan bahkan eropa dalam abab pertengahan. Teori mengenai
kombinasi bilangan sudah terdapat dalam aljabar yang dikembangkan sarja muslim
namun bukan dalam ruang lingkup teori peluang. Begitu dasar-dasar peluang ini
dirumuskan maka dengan cepat bidang telaahan ini berkembang.
Konsep statistika sering dikaitkan
dengan distribusi variabel ditelaah dlam suatu populasi terrentu. Abraham
Demoivre (1667-1754) mengembangkan teori galat atau kekeliruan (theory of
error). Pada tahun 1757 thomas simpson menyimpulkn bahwa terdapat suatu distribusi
yang berlajut (continuous distribution) dari suatu variabel dalam suatu
frekuensi yang cukup banyak. Pierre simon de laplace (1749-1827) mengembangkan
konsep demoivre dan simpson ini telah berlanjut dan menemukan distribusi
normal; sebuah konsep yang mungkin paling umum dan paling banyak dipergunakan
dalam analisis statistika disamping teori peluang. Distribusi lain, yang tidak
berupa kurva normal, kemudian ditemukan prancis galton (1822-1911), dan karl
pearson (1857-1936).
Teknik kuadrat terkecil (least
squares) simpangan baku dan galat baku untuk rata-rata ( the standard error of
the mean) dikembangkan karl friedrich gauss, (1777-1855). Pearson melanjutkan
konsep-konsep galton dan mengembangkan konsep regresi,korelasi, distribusi,
chi- kuadrat dan analisis statistika untuk data kualitatif disamping menulis
buku the grammar of science sebuah karya klasik dan filsafat ilmu. William
searly gosset, yang terkenal dengan nama samaran “student”, mengembangkan
konsep tentang pengambilan contoh. Disain eksperimen dikembangkan oleh Ronald
Alylmer Fisher (1890-1962) disamping analisis varians dan kovarians,
distribusi-z, distribusi-t, uji sigmifikan dan teori tentang perkiraan (theory
of estimation).
Demikianlah, statistika yang relatif
sangat mudah dibandingkan dengan matematika, berkembang dengan sangat cepat
terutama dalam dasawarsa lima puluh tahun belakangan ini. Penelitian ilmiah,
baik yang berupa survai maupun eksperimen, dilakukan dengan lebih cermat dan
teliti mempergunakan teknik-teknik statistika yang diperkembangkan sesuai
dengan kebutuhan. Diindonesia sendiri kegiatan yang sangat meningkat dalam
bidang penelitian, baik berupa kegiatan akademik maupun untuk pengambiloan
keputusan, memberikan momentum yanag baik untuk pendidikan statistika. Pengajaran
filsafat ilmu dibeberapa perguruan tinggi, terutama pada pendidikan pasca
sarjana, memberikan landasan yang lebih jelas tentang hakikat dan peranan
statistika. Dengan memasyarakatnya berfikir ilmiah, mungkin tidak terlalu
berlebihan apa yang dikatakan oleh H.G welles bahwa suatu hari berfikir
statistika akan merupakan keharusan bagi manusia seperti juga membaca dan
menulis. Asalkan ingat saja pada banyolan alexandra dumas (1824-1895):
Statistika
dan cara berfikir induktif
Ilmu
secara sederhana dapat didefinisikan sebagai pengetahuan yang telah teruji
kebenarannya. Semua pertanyaan ilmiah adalah bersifat faktual, diman
konsekuensinya dapat diuji baik dengan jalan mempergunakan pancaindra, maupun
dengan mempergunakan alat-alat yang membantu pancaindra tersebut. Pengujian
secara empiris merupakan salah satu mata rantai dalam metode ilmiah yang
membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya. Kalau kita telah lebih
dalam maka pengujian merupakan suatu proses pengumpulan fakta yang relevan
dengan hipotesis yang diajukan. Sekiranya hipotesis itu didukung oleh
fakta-fakta empiris maka pertanyaaan hipotesis tersebut diterima atau disahkan
kebenarannya. Sebaliknya jika hipotesis tersebut bertentangan dengan kenyataan
maka hipotetis itun ditolak.
Pengujian mengharuskan kita untuk
menarik kesimpulan danbersifat umum dari kasus-kasus yang bersifat individual.
Umpamanya jika kita ingin mengetahui berapa tinggi rata-rata anak umur sepuluh
tahun disebuah tempat maka nilai tinggi rata-rata yang dimaksud itu merupakan sebuah kesimpulan umum yan ditarik dalam
kasus-kasus anak umur sepuluh tahun ditempat itu. Jadi dalam hal ini kita
menarik kesimpulan berdasarkan logika induktif dipihak lain maka penyusunan
hipotesis merupakan penarikan kesimpulan yang bersifat has dari pernyataan yang
bersifat umum dengan mempergunkan deduksi kedua penarikan kesimpulan ini tidak
sama dan tidak boleh dicampur adukkan. Logika deduktif berpaling kepada
matematika sebagai sarana penalaran penarikan kesimpulan sedangkan logika
induktif berpaling kepada statistika. Statistika merupakan pengetahuan untuk
melakukan penarikan kesimpulan induktif secara lebih seksama.
Penarikan kesimpulan induktif pada
hakikatnya berbeda dengan penarikan kesimpulan secara deduktif. Dalam penalaran
deduktif maka kesimpulan yang tarik adalah benar sekiranya premis-premis yang
dipergunakannya adalah benar dan prosedur penarikn kesimpulannya adalah sah.
Sedangkan dalam penalaran induktif meskipun premis-premisnya adalah sah maka
kesimpulan itu belum tentu benar. Yang dapat kita katakan bahwa kesimpulan itu
adalah bahwa kesimpulan itu mempunyai peluang untuk benar. Statistika merupakan
pengetahuan yang memungkinkan kita untuk menghitung tingkat peluang ini dengan
eksak.
Penarikan kesimpulan secara induktif
menghadapkan kita pada sebuah permasalahan mengenai banyaknya kasus yang harus
kita amati sampai kepada suatu kesimpulan yang bersifat umum. Jika kita inin
mengetahui berapa tinggi rata-rata anak umur sepuluh tahun anak diindonesia,
umpamanya, lalu bagaimana caranya kita mengumpulkan data untuk sampai apada
kesimpulan tersebut? Tentu saja dalam hal ini maka hal yang paling logis adalah
dengan jalan melakukan pengukuran tinggi badan terhadap seluruh anak umur
sepuluh tahun diindonesia. Pengumpulan data seperti ini tak diragukan lagi akan
menjadikan kesimpulan mengenai tinggi rata-rata amak tersebut dinegara kita.
Namun kegiatan seperti ini menghadapkan kita pada masalah lain yang tak kurang
rumitnya, yakni kenyataan bahwa dalam pelaksanaannya kegiatan seperti itu membutuhkan
tenaga, biaya, dan waktu yang banyak sekali. Sensus yanag mempunyai arti sangat
penting dalam sejarah kemanusiaan, namun mungkin kurang dikenal sebagai
kejadian yang punya arti dalam perkembangan statistika adalah sensus penduduk
yang dilakukan penguasa romawi, yang menyebabkan jusub dan maria harus pindah
ketempat kelahirannya dimana kemudian yesus kritus dilahirkan. Dapat
dibayangkan betapa kegiatan pengujian hipotesis akan mengalami hambatan yang
sukar dapat diatasi sekiranya proses pengujian tersebut harus dilakukan dengan
pengumpulan data seperti itu. Hal ini akan menjadikan kegiatan ilmiah menjadi
suatu yang sangat mahal yang mengakibatkan penghalang bagi kemajuan bidang
keilmuan.
Untunglah dalam hal ini statistika
memberikan sebuah jalan keluar, statistika memberikan cara untuk dapat menarik
kesimpulan yang bersifat umum dengan jalan mengamati hanya sebagai dari
popolasi yang bersangkutan. Jadi untuk mengetahui tinggi rata-rata anak umur
sepuluh tahun diindonesia kita melakukan pengukuran terhadap seluruh anak yang
berumur diseluruh indonesia, namun cukup hanya dengan jalan melakukan
pengukuran terhadap anak saja. Tentu saja penarikan kesimpulan ini, yang
ditarik berdasarkan contoh (sample) dari popolasi yang bersangkutan, tidak
selalu akan setengah mati keseluruhan populasi tersebut. Namun bukankah dalam
penelaah keilmuan yanag bersifat prakmatis, dimana teori keilmuan tidak
ditujukan kearah penguasaan pengetahuan yang bersifat absolut, sesuatu yang
tidak mutlak teliti namun dapat dipertanggung jawabkan adalah sudah memenuhi
syarat?
Statistika mampu memberikan secara
kualitatif tingkat ketelitian dari kesimpulan yang ditarik tersebut, yang pada
pokoknya di dasarkan pada asas sederhana,yakni makin besar contoh yang di ambil
maka makin tinggi pula tingkat ketelitian kesimpulan tersebut.sebaliknya
semakin sedikit contoh yang ambil maka makin rendah pula tingkat ketelitiannya.
Karakterisitik ini memungkinkan kita untuk dapat memilioh dengan seksama
tingkat ketelitian yang di butuhkan sesuai dengan hakikat permasalah yang di
hadapi. Tiap permasalahan membutuhkan tingkat ketelitian yan berbeda-beda.
Sekiranya kita ingin mengoperasi otak manusia maka kesalahan beberapa ML saja
dalam memotong jaringan yang sangat peka tebrsebut mingkin akan berakibat
vatal. Pengetahuan mengenai jaringan tersebut haruslah bersifat seteliti mungkin sebab kesalahan
yang sedikit saja akan menyebabkan kerugian yang sangat besar. Namun hal ini
tidak demikian halnya bila kita bandingkan dengan persoalan kita di atas mengenai
tinggi rata-rata anak di indonesia. Selisih berapa cm dari tinggi rata-rata
yang sebenarnya mungkin tidak akan berarti banyak seperti halnya dengan
membedakan otak tersebut di atas.
Statistika
juga memberikan kemampuan kepada kita untuk mengetahui apakah suatu hubungan
kausalita antara dua faktor atau lebih bersifat kebetulan atau meemang
benar-benar terkait dalam suatu hubungan yang bersifat empiris. Umpanya saja
kita melakukan pemupukan terhadap sejimlah rumpun padi. Berdasarkan teori
himpotesnya sedangkita kaji ma secara logis batang tadi yang di pupuk
seharusnya bertambah tinggi. Namun bila kita teliti batan padi yang tidak di
pupuk maka mungkin saja beberapa batang di antaranya juga akan bertambah tinggi
di sebabkan oleh hal-hal di luar pemupukan tersebut. Hal ini bisa disebabkan
oleh kesuburan tanah yang ditumbuhi batang tersebut agak baerlainan denga
taanah disekitarnya, atau mungkin juga disebabkan berbagai-bagai hal lainnya
berada diluar hubunggan kausalita antara tinggi bantang padi dan pemupukan.
Atau degan perkataan lain, bisa saja terjadi bahwa hubungan antara tinggi
batang padi degan pemupukan tersebut hanya terjadi secara kebetulan saja.
Penggamatan secara pintas sering memberikan kesan kepada kita terdapatnya suatu
hubunggan kau salita antara beberapa faktor, dimana kalau kita teliti lebih
lanjut ternyata haya bersifat kebetulan.njadi dalam hal ini statistika berfunsi
menigkatkan ketelitian penggamatan kita dalam menarik kesimpulan degan jalan
menghindarkan hubungan semu yang bersifat kebetulan.
Terlepas dari semua itu maka dalam
penarikan kesimpulan secara induktif kekeliruan tidak bisa hindarkan.dalam
kegiatan penggumpulan data kita terpaksa mendasarkan kepada berbagai alat yang
pada hakikatnya juga tidak terlepas dari cacat yang berupa ketidak telitian
dalam penggamatan. Panca indara mnusia sendiri tidak sempurna yang bisa
menggakibatkan berbagai kesalahan dalam penggamatan kita. Demikian juga degan
alat-alat yang dipergunakan, semua tak ada yang sempurna. Kegiatan penggamatan
paca indra manusia degan mempergunakan berbagai alat jelas meggarah kepada ke
tidak telitian dalam penarikan kesimpulan. Diatas semua ini statistika
memberikan sifat yang pragmatis pada penelahaan keilmuan; dimana dalam
kesadaran bahwaa suatu kebenaran absolut tidak mungkin dapat dicapai, kita
berpendirian bahwa suatu kebenaran yang dapat dipertanggung jawabkaan dapat
diperoleh.
Penarikan kesimpulan secara
statistik memungkinkan kita untuk melakukan kegiatan ilmiah secara ekonomis,
dimana tanpa statistika hal ini tak mungkin daapat dilakukan. Atau dipihak
lain, kita melakukan penarikan kesimpulan induktif secara tidak sah, degan
mengacaukan logika induktif degan logika deduktif. Karakteristik yang dipunyai
statistika ini sering dikurang dikenali degan baik yang menyebabkan orang
sering melupakan pentingnya statistika dalam penelahaan keilmuan. Loika lebih
banyak dihubungkan degan matematika daan jarang sekali dihubungakan degan
staatistika, pahal hanya logika deduktif
yang berkaitan dengan matematika sedangkan logika industif justru berkaitan dengan
statistika. Hal ini menimbulkan kesan seakan-akan funsi matematika lebih tinggi
dibandingkan degan statistika dalam penelaahan keilmuan. Secara haakiki
keduanya mempunyai kedudukan yang sama dalam penarikan kesimpulan induktif
seperti matematika dalam penarikan kesimpulan secara deduktif. Demikin jagu
penarukan kesimpulan deduktif dan induktif
keduanya mempunyai kedudukan yang sama pentingnya dalam penelaahan
keilmuan. Pada suatu pihak, jika kita terlalu mementingkan logika deduktif maka
kita mundur kembali kepada empirisme. Ilmu dalam perkembangan sejarah peradaban
manusia telah menggambungkan kedua pendekatan ini dalam bentuk metode ilmiah
yang mendasarkan diri kepada keseimbangan maka harus dijaga pula keseimbanagan
antara pengetahuan tentang matematika dan statistika ini. Untuk itu pendidikan
statistika harus ditingkatkan agar setaraf dengan matematika. Peningkatan ini
bukan saja mencakup aspek-aspek teknis namun lebih penting lagi mencakup
pengetahuan mengenai hakikat statistika dalam kegiatan metode ilmiah secara
keseluruhan. Pendidikan statistika, menurut Ferguson, pada hakikatnya adalah
pendidikan dalam metode ilmiah.
Karakteristik
Berfikir Induktif
Kesimpulan yang didapat dalam
berfikir deduktif merupakan hal yang pasti, dimana jika kita mempercayai
premis-premis yang dipakai sebagai landasan penelarannya, maka kesimpulan
penalaran tersebut juga dapat kita percayai kebenarannya sebagimana kita
mempercayai premis-premis terdahulu. Hal ini tidak berlaku dalam kesimpulan
yang tertarik secara induktif, meskipun premis yang dipakainya adalah benar dan
penalarannya induktifnya adalah sah, namun kesimpulannya mungkin saja salah.
Logika induktif tidak memberikan kepastian namun sekedar tingkat peluang bahwa
hidup premis-premis tersebut dapat ditarik. Jika selama bulan oktober dalam
beberapa tahun hujan selalu turun, maka kita tidak bisa memastikan bahwa selama
bulan oktober tahun ini juga akan turun hujan. Kesimpulan yang dapat ditarik
dalam hal ini hanya pengetahuan mengenai tingkat peluang untuk hujan dalam
tahun ini juga akan turun.
Statistika merupakan pengetahuan
yang memungkinkan kita untuk menarik kesimpulan secara induktif berdasarkan
peluang tersebut. Dasar dari teori statistika adalah teori peluang. Teori
peluang merupakan cabang dari matematika secangkan statistika sendiri merupakan
disiplin tersendiri. Menurut bidang pengkajiannya statistika dapat kita bedakan
sebagai statistika teoretis dan statistika terapan. Statistika teoritis
merupakan pengetahuan yang mengkaji dasar-dasar teori statistika, dimulai dari
teori penarikn contoh, distribusi, penaksiran dan peluang. Statistika terapan
merupakan penggunaan statistika teoritis yang sesui dengan bidanag
penerapannya. Disini diterapkan atau dipraktekkan teknik-teknik penarikan
kesimpulan seperti cara mengambil sebagi populasi sebagai contoh bagaimana cara
menghitung rentangan kekeliruan dan tingkat peluang, bagaimana menghitung harga
rata-rata dan sebagainya.
Kegiatan ilmiah memerlukan
penelitian untuk menguji hipotesis yang diajukan. Penelitian pada dasarnya
merupakan pengamatan dalam empiris apakah hipotesis tersebut memang didukung
oleh fakta-fakta. Jika umpamanya kita mempunyai hipotets bahwa orang muda suka
musik pop namun tidak musik keroncong maka kita harus melakukan pengujian untuk
memperhatikan bahwa hipotesis tersebut benar, dengan jalan pengumpulan fakta
mengenai kesukan musik orang-orang muda. Tentu saja kita tidak bisa mengadakan
wawancara dengan seluruh orang muda dan untuk statistika terapan memberikan jalan
bagaimana memilih sebagaian orang muda tersebut sebagai contohnya yang
refresentif dan obyektif dari seluruhan populasi orang muda tersebut. Demikian
juga statistika memberikan jalan bagaimana menarik kesimpulan yang bersifat
umum dari contoh tersebut dengan tingkat peluang dan kekeliruannya. Jelaskan
kiranya bahwa tanpa menguasai statistika adalah tak mungkin untuk dapat menarik
kesimpulan induktif dengan sah.
Bahwa penguasaan statistika mutlak
diperlukan untuk dapat berfikir ilmiah dengan sah seringkali dilupakan orang.
Berfikir logis secara deduktif sering kali dikacaukan dengan berfikir logis
secara induktif. Kekecauan logika inilah yang meyebabkan kurang berkembangnya
ilmu dinegara kita. Kita cenderung untuk berfikir logis cara deduktif dan menerapkan
prosedur yang sama untuk kesimpulan induktif. Dalam hipotesis terdahulu
mengenai kesukaan musik orang muda tidak jarang kita langsung menarik
kesimpulan berdasarkan wawancara kita dengan beberapa orang muda yang kebetulan
kita kenal. Prosedur penarikan kesimpulan yan bersubyektif ini, yang sumber
pada kekacauan penggunaan logika
induktif dan deduktif, merupakan salah satu penghalang kemajuan ilmu, sebagai
kesimpulan yang ditarik adalah tidak sah . kesimpulan seperti ini sukar untuk
diterima sebagai premis untuk berfikir selanjutnya.
Untuk mempercepat perkembangan
kegitan keilmuan di negara kita maka penguasaan berfikir induktif dengan
statistika sebagai alat berfikirnya harus mendapatkan perhatian yang
sungguh-sunguh. Dalam perjalanan sejarah statistika memang sering dapat tempat
yang kurang statistika yang berupa data yang dikumpulkan disebabkan data yang
dapat disulap atau kurang dapat dipercaya maka tumbuhlah secara sossiologis
kata-kata bersayap seperti yang di ucapkan diseraeli yang mengatakan bahwa
terdapat tiga jenis kedustaan yakni “ dusta, dusta besar dan statistik dan
tanda”. Salah paham ini supayabukan sekedar milik akhli politik bahwa penyair
W.H. auden pun ikut bersajap. Dalam kegitan ilmiah harus di bekali degan
pengguasaan statistika yang cukup agar kesimpulan yang ditariknya merupakan
kesimpulan ilmih yang sah. Statistika harus mendapat tempat yang sejajar dengan
matematika agar keseimbangan berfikir deduktif dab induktif yang merupakan ciri
dari berfikir ilmiah yang dapat dilakukan degan baik.
Akhli statistika takusa berkecil
hati degan pandangan negatif dengan statistika ini, sebab hal yang serupa,
pernah berlaku juga untuk matematika. tak kutang dari filsuf schopenhuer
(1788-1860) yang mengangap bahwa berhitung merupakan aktifitas aktifitas mental
yang paling rendah sebab hal ini dapat dilakukan dengan mesin. Demikian juga
st.agustinus pernah bekata,” hati-hati terhadap ahli matematika dan mereka yang
membuat ramalan-ramalan dusta|!”))
Statistika merupakan sarana berfikir
yang diperlukan untuk memproses penggetahuan secara ilmiah makan statistika
membuat kita untuk membantu kita untuk melakukan generalisasi dan terjadi
secara kebetulan. Sekiranya terhadapat seorang gila dalam sepuluh orang yang
berkebetulan berkumpul bersama-sama maka berdasarkan akal sehat kemungkinan
besar yang seorang itulah yaang akan yang disebut orang gila. Meskipun tentu
saja, penilaian orang tidak selalu sama seperti seorang mahsiswa yang mempunyai
teori siknifikasi dalam bercinta:
Minta
cium kepada sepuluh gadis
Yang
kau jumpai dijalan
Meski
kau ditampar sembilan
Bukankah
kesepuluh yang menentukan?
(Dia
menulis teori ini, sewaktu profesor matematika, membicarakan geometri non- euclidean )
Aksiologi : nilai kegunaan ilmu
Mengalami zaman edan
Kita sulit menentukan sikap
Turut edan tidak tahan
Kalau tidak turut edan
Kita tidak kebagian
Menderita kelaparan
Tapi dengan bimbingan tahun
Betapa bahagia pun mereka yang lupa
Lebih bagaia yang ingat serta waspada
(Amenangi jaman edan
Ewuh aya ing pambudi
Melu edan ora tahan
Yen tan melu anglakoni
Boya kaduman melik
Kaliren wekasanipun
Dilalah kersa allah
Begja-begjane kang lali
Luwih begja kang eling lan waspada)
D.
Peran
Logika Dalam Sarana Berfikir Ilmiah
Logika adalah sarana berpikir sistematis,
valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Karena itu berpikir logis adalah
berpikir sesuai dengan aturan-aturan berpikir. Hukum-hukum pikiran beserta mekanismenya dapat digunakan secara
sadar dalam mengontrol perjalanan pikiran yang sulit dan panjang itu.
a. Aturan Cara Berpikir yang Benar
Kondisi adalah hal-hal yang harus
ada supaya sesuatu dapat terwujud, dapat terlaksana. Untuk berpikir baik, yakni
berpikir benar, logis-dialektis, juga dibutuhkan kondisi-kondisi tertentu:
·
Mencintai
kebenaran
Sikap ini sangat fundamental untuk
berpikir yang baik, sebab sikap ini senantiasa menggerakkan si pemikir untuk
mencari, mengusut, meningkatkan mutu penalarannya; manggerakkan si
pemikir untuk senantiasa mewaspadai “ruh-ruh” yang akan menyelewengkannya dari
yang benar. Misalnya, menyederhanakan kenyataan, menyempitkan
cakrawala/perspektif, berpikir terkotak-kotak. Cinta terhadap kebenaran
diwujudkan dalam kerajinan (jauh dari kemalasan, jauh dari takut sulit, dan
jauh dari kecerobohan) serta diwujudkan dengan kejujuran, yakni disposisiatau
sikap kejiwaan(dan pikiran) yang selalu siap sedia menerima kebenaran meskipun
berlawanan dengan prasangka dan keinginan/kecenderungan pribadi atau
golongannya.
·
Ketahuilah
(dengan sadar) apa yang sedang Anda kerjakan
Kegiatan yang sedang dikerjakan
adalah kegiatan berpikir. Seluruh aktivitas intelek kita adalah suatu usaha
terus menerus mengejar kebenaran yang diselingi dengan diperolehnya pengetahuan
tentang kebenaran tetapi parsial sifatnya. Untuk mencapai kebenaran, kita harus
bergerak melalui berbagai macam langkah dan kegiatan.
·
Ketahuilah
(dengan sadar) apa yang Anda katakana
Pikiran diungkapkan ke dalam
kata-kata. Kecermatan pikiran diungkapkan ke dalam kecermatan kata-kata,
karenanya kecermatan ungkapan pikiran ke dalam kata merupakan sesuatu yang
tidak boleh ditawar lagi. Anda senantiasa perlu menguasai ungkapan pikiran
kedalam kata tersebut. Waspadalah terhadap term-term ekuivokal (bentuk sama,
tetapi arti berbeda), analogis (bentuk sama, arti sebagian sama sebagian berbeda).
Ketahuilah pula perbedaan kecil arti (nuansa) dari hal-hal yang Anda katakan.
·
Buatlah
distingsi (pembedaan) dan pembagian (klasifikasi) yang semestinya
Jika ada dua hal yang tidak
mempunyai bentuk yang sama, hal itu jelas berbeda. Tetapi banyak kejadian
dimana dua hal atau lebih mempunyai bentuk sama, namun tidak identik. Disinilah
perlu dibuat suatu distingsi, suatu pembedaan. Karena realitas begitu luas,
perlu diadakan pembagian ( klasifikasi). Peganglah suatu prinsip pembagian yang
sama, jangan sampai Anda menjumlahkan bagian atau aspek realitas prinsip
klasifikasi yang sama.
·
Cintailah
definisi yang tepat
Penggunaan bahasa sebagai ungkapan
sesuatu kemungkinan tidak ditangkap sebagaimana yang akan diungkapkan atau yang
dimaksudkan. Karenanya jangan segan membuat definisi. Definisi artinya
pembatasan, yakni membuat jelas batas-batas sesuatu. Hindari uraian-uraian yang
tidak jelas artinya.
·
Ketahuilah
(dengan sadar) mengapa Anda menyimpulkan begini atau begitu
Anda harus bisa dan biasa melihat
asumsi-asumsi, implikasi-implikasi, dan konsekuensi-konsekuensi dari suatu
penuturan (assertion), pernyataan, atau kesimpulan yang Anda buat. Jika bahan
yang ada tidak cukup atau kurang cukup untuk menarik kesimpulan, hendaknya
orang menahan diri untuk tidak membuat kesimpulan atau membuat
pembatasan-pembatasan (membuat reserve) dalam kesimpulan.
·
Hindarilah
kesalahan-kesalahan dengan segala usaha dan tenaga, serta sangguplah mengenali
jenis, macam, dan nama kesalahan, demikian juga mengenali sebab-sebab kesalahan
pemikiran (penalaran)
Dalam belajar logika Ilmiah
(scientific) Anda tidak hanya mau tahu hukum-hukum, prinsip-prinsip,
bentuk-bentuk pikiran sekadar untuk tahu saja. Anda perlu juga;
1. Dalam praktik, menjadi cakap dan
cekatan berpikir sesuai dengan hukum, prinsip, bentuk berpikir yang betul,
tanpa mengabaikan dialektika, yakni proses perubahan keadaan. Logika ilmiah
melengkapi dan mengantar kita untuk menjadi cakap dan sanggup berpikir kritis,
yakni berpikir secara menentukan karena menguasai ketentuan-ketentuan berpikir
yang baik.
2. Selanjutnya sanggup mengenali
jenis-jenis, macam-macam, nama-nama, sebab-sebab kesalahan pemikiran, dan
sanggup menghindari, juga menjelaskan segala bentuk dan sebab kesalahan dengan
semestinya.
b. Klasifikasi
Sebuah konsep klasifikasi, seperti
“panas” atau “dingin”, hanyalah menempatkan objek tertentu dalam sebuah kelas.
Pertimbangan yang berdasarkan klasifikasi tentu saja lebih baik daripada tak
ada pertimbangan sama sekali. Misal; terdapat tiga puluh lima orang yang
melamar pekerjaan yang membutuhkan kemampuan tertentu, dan perusahaan yang akan
menerima mempunyai psikolog harus menetapkan cara-cara pelamar dalam memenuhi
persyaratan yang telah ditentukan. Ahli psikologi tersebut membuat klasifikasi
kasar berdasarkan keterampilan, kemampuan dibidang matematika, stabilitas
emosional, dan sebagainya. Ketiga puluh lima orang tersebut dibandingkan dengan
pengetahuan yang berdasarkan klasifikasi kuat, lemah dan sedang, kemudian
ditempatkan dalam urutan berdasarkan kemampuannya masing-masing.
c. Aturan Definisi
Definisi secara etimologi adalah
suatu usaha untuk memberi batasan terhadap sesuatu yang dikehendaki seseorang
untuk memindahkannya kepada orang lain. Sedangkan
pengertian definisi secara terminologi adalah sesuatu yang menguraikan makna
lafadz kulli yang menjelaskan karakteristik khusus pada diri individu. Definisi yang baik adalah jami’
wa mani (menyeluruh dan membatasi). Hal ini sejalan dengan kata definisi itu
sendiri, yaitu definite (membatasi).
0 komentar:
Posting Komentar