Selamat Datang di Blog Nur Avni A. Sali dan Citra Haji
Biru

Pilih Warna Kesukaan Anda

#header:after{content:'Assalamualaikum Wr.Wb';}
.easyslider-wrapper { width: auto; float: left; position: relative; padding-right: 2%; padding-top: 10px; } .easyslider { overflow: hidden; position: relative; width: 100%; height: 350px; background: #eee; } .image_reel { position: absolute; top: 0; left: 0; } .image_reel img { float: left; width: 20%; height: 350px; } .paging { background: none; position: absolute; bottom: 15px; right: 20px; padding:4px 0 2px; z-index: 100; display: none; } .paging a { margin: 3px; background: #fff; width: 10px; height:10px; display: inline-block; border: none; outline: none; } .paging a.active { background: #15E3FF; border: 1px solid #15E3FF; } .paging a:hover { } .easytitledes { width:70%; display: none; position: absolute; bottom: 20px; left: 20px; z-index: 101; background: #000A3F; background: rgba(2, 0, 51, 0.6); padding: 10px 15px; } .easytitledes a { color: #15E3FF; font: 14px sans-serif; text-transform: uppercase; font-weight: bold; } .easytitledes a:hover { color:#29FF00 } .easytitledes p { color: #fff; font: 12px Arial; }
https://googledrive.com/host/0ByoCwyjwB1aDaTVtdkNwMTFHV2c (warna biru)
Blue Fire Pointer
Cute Bow Tie Hearts Blinking Blue and Pink Pointer

Senin, 04 Januari 2016

SARANA BERFIKIR ILMIAH



BAB II
PEMBAHASAN
2.1    Peran Bahasa Dalam Sarana Berfikir Ilmiah
Bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah. Definisi bahasa menurut Jujun Suparjan Suriasumantri menyebut bahasa sebagai serangkaian bunyi dan lambang yang membentuk makna. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diterangkan bahwa bahasa ialah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri.  Jadi bahasa menekankan pada bunyi, lambang, sistematika, komunikasi.
Adapun ciri-ciri bahasa di antaranya yaitu:
a.      Sistematis artinya memiliki pola dan aturan.
b.      Arbitrer (manasuka) artinya kata sebagai simbol berhubungan secara tidak logis dengan apa yang disimbolkannya.
c.      Ucapan/vokal. Bahasa berupa bunyi
d.      Sebagai symbol yang mengaju pada objeknya dan lain sebagainya.
Kelemahan bahasa dalam menghambat komunikasi ilmiah yaitu :
Bahasa mempunyai multifungsi (ekspresif, konatif, representasional, informatif, deskriptif, simbolik, emotif, afektif) yang dalam praktiknya sukar untuk dipisah-pisahkan. Akibatnya, ilmuwan sukar untuk membuang faktor emotif dan afektifnya ketika mengomunikasikan pengetahuan informatifnya.
Keunikan manusia bukanlah terletak pada kemampuannya berfikir melainkan terletak pada kemampuannya berbahasa. Oleh karena itu, Ernest menyebut manusia sebagai Animal Symbolycum, yaitu makhluk yang mempergunakan symbol. Bahasa Sebagai sarana komunikasi maka segala  yang berkaitan dengan komunikasi tidak terlepas dari bahasa, seperti berfikir sistematis dalam menggapai ilmu dan pengetahuan. Dengan kata lain, tanpa mempunyai kemampuan berbahasa, seseorang tidak dapat melakukan kegiatan berfikir sebagai secara sistematis dan teratur.  Dengan kemampuan kebahasaan akan terbentang luas cakrawala berfikir seseorang dan tiada batas dunia. Yang dimaksud bahasa disini ialah bahasa ilmiah yang merupakan sarana komunikasi ilmiah yang ditujukan untuk menyampaikan informasi yang berupa pengetahuan, syarat-syarat bebas dari unsur emotif, reproduktif, obyektif dan eksplisit.
Bahasa memegang peran penting dan suatu hal yang lazim dalam kehidupan manusia. Kelaziman tersebut membuat manusia jarang memperhatiakan bahasa dan menggapnya sebagai suatu hal yang bisa, seperti bernafas dan berjalan. Padahal bahasa mempunyai pengaruh-pengaruh yang luar biasa dan termasuk yang membedakan manusia dari ciptaan lainnya. Banyak ahli bahasayang telah memberikan uraiannya tentang pengertiannya tentang pegertian bahasa. Pernyataan tersebut  tentunya  berbeda-beda cara menyampikannya. Seperti pendapat Bloch and Trager mengatakan bahwa : a language is a system of arbitrary vocal symbols by means of which asocial group cooperates (bahasa adalah suatu sistem simbol-simbol bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh suatu kelompok sosial sebagai alat untuk komunikasi). Peran bahasa disini adalah sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran seluruh proses berpikir ilmiah dan sebagai sarana komunikasi antar manusia tanpa bahasa tiada komunikasi.
Adapun ciri-ciri bahasa ilmiah yaitu:
1.        Informatif yang berarti bahwa bahasa ilmiah mengungkapan informasi atau pengetahuan. Informasi atau pengetahuan ini dinyatakan secara eksplisit dan jelas untuk menghindari kesalah pahaman Informasi.
2.        Reproduktif adalah bahwa pembicara atau penulis menyampaikan informasi yang sama dengan informasi yang diterima oleh pendengar atau pembacanya.
3.        Intersubjektif, yaitu ungkapan-ungkapan yang dipakai mengandung makna-makna yang sama bagi para pemakainya
4.        Antiseptik berarti bahwa bahasa ilmiah itu objektif dan tidak memuat unsur emotif, kendatipun pada kenyataannya unsur emotif ini sulit dilepaskan dari unsur informatif.
            Bahasa ilmiah  berfungsi sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran seluruh proses berpikir ilmiah. Yang dimaksud bahasa disini ialah bahasa ilmiah yang merupakan sarana komunikasi  ilmiah yang ditujukan untuk menyampaikan informasi yang berupa pengetahuan dengan syarat-syarat: Bebas dari unsur emotif,  Reproduktif,  Obyektif, Eksplisit.
       Bahasa pada hakikatnya mempunyai  dua fungsi utama yakni,
a.      Sebagai sarana komunikasi antar manusia.
b.      Sebagai sarana budaya yang mempersatukan kelompok manusia yang mempergunakan bahasa tersebut.
Bahasa adalah unsur yang berpadu dengan unsur-unsur lain di dalam jaringan kebudayaan. Pada waktu yang sama bahasa merupakan sarana pengungkapan nilai-nilai budaya, pikiran, dan nilai-nilai kehidupan kemasyarakatan. Oleh karena itu, kebijaksanaan nasional yang tegas di dalam bidang kebahasaan harus merupakan bagian yang  integral dari kebijaksanaan nasional yang tegas di dalam bidang kebudayaan. Perkembangan kebudayaan Indonesia ke arah peradaban modern sejalan dengan kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut adanya perkembangan cara berpikir yang ditandai oleh kecermatan, ketepatan, dan kesanggupan menyatakan isi pikiran secara eksplisit.
Berpikir dan mengungkapkan isi pikiran ini harus dipenuhi oleh bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi dan sebagai sarana berpikir ilmiah dalam hubungan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi  serta modernisasi masyarakat Indonesia. Selain itu, mutu dan kemampuan bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi keagamaan perlu pula ditingkatkan.  Bahasa Indonesia harus dibina dan dikembangkan sedemikian  rupa sehingga ia memiliki kesanggupan menyatakan dengan tegas, jelas, dan eksplisit konsep-konsep yang rumit dan abstrak.
Para ahli filsafat bahasa dan psikolinguitik melihat fungsi bahasa  sebagai sarana untuk menyampaikan pikiran,  perasaan, dan emosi. Sedangkan aliran sisiolinguistik berpendapat bahwa fungsi bahasa adalah sarana untuk perubahan masyarakat. Walaupun terdapat perbedaan tetapi pendapat ini saling melengkapi satu sama lainnya. Secara umum dapat dinyatakan bahwa fungsi bahasa adalah :
1.      Koordinator kegiatan-kegiatan dalam masyarakat.
2.      Penetapan pemikiran dan pengungkapan.
3.      Penyampaian pikiran dan perasaan
4.      Penyenangan jiwa
5.      Pengurangan kegonjangan jiwa
Kneller mengemukakan 3 fungsi bahasa yaitu:
1.      Simbolik menonjol dalam komunikasi ilmiah.
2.      Emotif menonjol dalam komunikasi estetik.
3.      Afektif (George F. Kneller dalam jujun, 1990, 175).
Komunikasi dengan mempergunakan bahasa akan mengandung unsur simbolik dan emotif, artinya, kalau kita berbicara maka pada hakikatnya informasi yang kita sampaikan mengandung unsur-unsur emotif, demikian juga kalau kita menyampaikan perasaan maka ekspresi itu mengandung unsur-unsur informatife. Menurut Jujun S. Suriasumantri, 1990, 175, dalam komunikasi ilmiah proses komunikasi itu harus terbebas dari unsur  emotif, agar pesan itu reproduktif, artinya identik dengan pesan yang dikirimkan.
Menurut Halliday sebagaimana yang dikutip oleh Thaimah bahwa fungsi bahasa adalah sebagai berikut:
1.             Instrumental yaitu:  penggunaan bahasa untuk mencapai suatu hal   yang bersifat materi seperti makan, minum, dan sebagainya.
2.             Fungsi Regulatoris yaitu: penggunaan bahasa untuk memerintah dan perbaikan tingkah laku.
3.             Fungsi Interaksional yaitu: penggunaan bahasa untuk saling mencurahkan  perasaan pemikiran antara seseorang dan orang lain.
4.             Fungsi Personal yaitu: seseorang menggunakan bahasa untuk mencurahkan perasaan dan pikiran.
5.             Fungsi Heuristik yaitu : penggunaan bahasa untuk  mengungkap tabir fenomena dan keinginan untuk mempelajarinya.
6.             Fungsi Imajinatif  yaitu: penggunaan bahasa untuk mengungkapkan imajinasi seseorang dan gambaran-gambaran tentang discovery seseorang dan tidak sesuai dengan realita (dunia nyata).
7.             Fungsi Representasional yaitu: penggunaan bahasa untuk menggambarkan pemikiran dan wawasan.
8.             Untuk menelaah bahasa ilmiah perlu dijelaskan tentang pengolongan bahasa.
Ada dua pengolongan bahasa yang umumnya dibedakan yaitu :
a.    Bahasa alamiah yaitu bahasa sehari-hari yang digunakan untuk menyatakan sesuatu, yang tumbuh atas pengaruh alam sekelilingnya. Bahasa alamiah dibagi menjadi dua  yaitu: bahasa isyarat dan bahasa biasa.
b.   Bahasa buatan adalah bahasa yang disusun sedemikian rupa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan akar pikiran untuk maksud tertentu. Bahasa buatan dibedakan menjadi dua bagian yaitu: bahasa istilah dan bahasa antifisial atau bahasa simbolik.
Perbedaan bahasa alamiah dan bahasa buatan adalah sebagai berikut:
1.   Bahasa alamiah antara kata dan makna merupakan satu kesatuan utuh, atas dasar kebiasaan
sehari-hari, karena bahasanya secara spontan, bersifat kebiasaan, intuitif (bisikan hati) dan pernyataan langsung.
2.   Bahasa buatan antara istilah dan konsep merupakan satu kesatuan bersifat relatif, atas dasar pemikiran akal karena bahasanya berdasarkan pemikiran, sekehendak hati, diskursif (logika, luas arti) dan pernyataan tidak langsung.
Dari uraian diatas tentang bahasa, bahasa buatan inilah yang dimaksudkan bahasa ilmiah. Dengan demikian bahasa ilmiah dapat dirumuskan, bahasa buatan yang diciptakan para ahli dalam bidangnya dengan mengunakan istilah-istilah atau lambang-lambang untuk mewakili pengertian-pengertian tertentu. Dan bahasa ilmiah inilah pada dasarnya merupakan kalimat-kalimat deklaratif atau suatu pernyataan yang dapat dinilai benar  atau salah, baik mengunakan bahasa biasa sebagai bahasa pengantar untuk mengkomunikasikan karya ilmiah.

2.2    Peran Matematika Dalam Sarana Berfikir Ilmiah
Matematika Sebagai Bahasa
Matematika adalah bahasa melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin kita sampaikan. Lambing-lambang matematika bersifat “artificial” yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan padanya. Tanpa itu matematika hanya merupakan kumpulan rumus-rumus yang mati. Yang paling sukar untuk menjelaskan kepada seorang yang baru belajar matematika, keluh Alfred North Whitehead, ialah bahwa x itu sama sekali tidak berarti.
Bahasa verbal seperti telah kita lihat sebelumnya mempunyai beberapa kekurangan yang sangat mengganggu. Seorang suami istri yang sedang berbulan madu itu mengalami sendiri betapa sengsara jadinya disebabkan komunikasi yang buntu. Perkataan “setan”, umpamanya, bisa kedengaran sangat “sip” bila ditafsirkan sacara asyik; namun bagaimana kalau suasana sedang out, dunia lantas terbalik? (tidak bisa toh kita mengadukan seorang karena menyebut kita “babi”; bagaimana kalau perkataan itu diucapkan penuh puisi: babiku, my babi, mont cher, sayang!).
Untuk mengatasi kekurangan yang terdapat pada bahasa maka kita berpaling kepada matematika. Dalam hal ini dapat kita katakana bahwa matematika adalah bahasa yang berusaha untuk menghilangkan sifat kubur, majemuk emosional dari bahasa verbal. Lambang-lambang dari matematika dibikin secara artifisal dan individual merupakan perjanjian yang berlaku khusus untuk masalah yang akan kita kaji.sebuah objek yang sedang kita telaah dapat kita lambangkan dengan apasaja sesuai dengan perjanjian kita. Umpanya kita sedang mempelajari kecepatan jalan kaki seorang anak maka obyek “kecepatan jalan kaki seorang anak” tersebut dapat dilambangkan dengan x. dalam hal ini maka x hanya mempunyai satu arti yakni “kecepatan jalan kaki seorang anak”. Lambang matematika yang berupa x ini kiranya mempunyai arti yang jelas yakni “kecepatan jalan kaki seorang anak”. Di samping itu lambing x tidak bersifat majemuk sebab x hanya dan hanya melambangkan “kecepatan jalan kaki seorang anak” dan tidak mempunyai pengertian lain. Demikian juga jika kita hubungkan “kecepatan jalan kaki seorang anak” dengan obyek lain umpanya “jarak yang ditempuh seorang anak” (yang kita lambangkan dengan y) maka kita dapat melambangkan hubungan tersebut sebagai z = y/x di mana z melambangkan “waktu berjalan kaki seorang anak”. Pernyataan mengemukakan informasi mengenai hubungan antara x, y, dan z. secara ini maka pernyataan matematika mempunyai sifat yang jelas, spesifik dan informatik dengan tidak menimbulkan konotasi yang bersifat emosional.
Sifat kuantitatif dari matematika
            Matematika mempunyai kelebihan lain dibandingkan dengan bahasa verbal. Mateematika mengembangkan bahasa numeric yang memungkinkan kita untuk melakukan pengaturan secara kuantitatif. Dengan bahasa verbal bila kita membandingkan dua obyek yang berlainan umpanya gajah dan semut maka kita hanya bisa mengatakan gajah lebih besar dari semut. Kalau kita ingin menelurus lebih lanjut berapa besar gajah dibandingkan dengan semut maka kita mengalami kesukaran dalam mengemukakan hubungan itu. Kemudian jika sekiranya., kita ingin mengetahui secara eksak berapa besar gajah bila dibandingkan dengan semut maka dengan bahasa verbal kita dapat mengatakan apa-apa.
            Bahasa verbal hanya mampu mengemukakan peryataan yang bersifat kualitatif. Demikian juga maka penjelasan dan ramalan yang diberikan oleh ilmu dalam bahasa verbal semuanya bersifat kualitatif. Kita bisa mengetahui bahwa logam kalau dipanaskan akan memanjang. Hal ini menyebabkan penjelasan dan ramalan yang diberikan oleh bahasa verbal tidak berifat eksak, menyebabkan daya prediktif dan control ilmu kurang cermat dan tepat.
            Untuk mengatasi masalah ini matematika mengembangkan konsep pengukuran. Lewat pengukuran, maka kita dapat mengetahui dengan tepat berapa panjang sebatang logam dan berapa pertambahan panjangnya kalau logam itu dipanaskan. Dengan mengetahui hal ini maka pernyataan ilmiah yang berupa pernyataan kualitatif seperti “sebatang logam kalau dipanaskan akan memanjang” dapat diganti dengan pernyataan matematika yang lebih eksak umpanya :
P1 = Po (1 + ñt)
Di mana P1 merupakan panjang logam pada temparatur t, Po merupakan panjang logam tersebut pada temperature nol dan ñ merupakan koefesien pemuai logam tersebut.
            Sifat kuantitatif dari matematika ini meningkatkan daya prediktif dan control dari ilmu. Ilmu memberikan jawaban yang lebih bersifat eksak yang memungkinkan pemecahan masalah secara lebih tepat dan cermat. Matematika memungkinkan ilmu mengalami perkembangan dari tahap kualitatif ke kuantitatif. Perkembangan ini merupakan suatu hal yang imperative bila kita menghendaki daya prediksi dan control yang lebih tepat dan cermat dari ilmu. Beberapa disiplin keilmuan, terutama ilmu-ilmu sosial mengalami kesukaran dalamm perkembangan yang bersumber pada problema teksnis dan dalam pengukuran. Kesukaran ini secara bertahap tela mulai dapat diatasi, dan akhir-akhir ini kita melihat perkembangan yang menegmbirakan, di mana ilmu-ilmu sosial telah mulai melakukan oleh semua disiplin keilmuan untuk meningkatkan daya prediksi dan control dari ilmu tersebut.
Matematika: Sarana
Berpikir Deduktif
            Kita semua kiranya mengenal bahwa jumlah sudut dalam sebuah segitiga adalah 180 derajat. Pengetahuan ini mungkin saja kita dapat dengan jalan, mengukur sudut-sudut dalam sebuah segitiga dan kemudian menjumlahkannya. Di pihak lain, pengetahuan ini bisa didapatkan secara deduktif dengan mempergunakan matematika. Seperti diketahui berpikir deduktif adalah proses pengambilan kesimpulan yang didasarkan kepada premis-premis yang kebenarannya telah ditentukan. Untuk menghitung jumlah sudut segitiga tersebut kita mendasarkan kepada premis bahwa kalau terdapat dua garis sejajar maka sudut-sudut yang dibentuk kedua garis sejajar tersebut dengan garis segitiga adalah sama. Premis yang kedua adalah bahwa jumlah sudut yang dibentuk  oleh sebuah garis lurus adalah 180 derajat.
            Kedua premis kemudian kita rapikan dalam berpikir deduktif untuk menghitung jumlah sudut-sudut dalam segitiga. Dalam hal ini kita melihat bahwa dalam segitiga ABC kalau kita tarik garis P malalui titik A yang sejajar dengan BC maka pada titik A dapat didapatkan tiga sudut yakni, £1, £2, dan £3, yang ketiga-tiganya membentuk suatu garis lurus.
            Jadi dengan contoh di atas secara deduktif matematika menemukan pengetahuan yang bari berdasarkan premis-premis yang tertentu. Pengetahuan yang ditemukan ini sebenarnya hanyalah merupakan konsekuensi dari pernyataan-pernyataan ilmiah yang telah kita temukan sebelumnya,. Meskipun “tak pernah ada kejutan dalam logika” namun pengetahuan yang didapatkan secara deduktif ini sungguh sangat berguna dan memberikan kejutan yang sangat menyenangkan. Dari beberapa premis yang telah kita ketahui kebenarannya dapat ditemukan pengetahuan-pengetahuan lainnya yang memperkaya perbendaharaan ilmiah kita.
Perkembangan
Matematika
Ditinjau dari perkembangannya maka ilmu dibagi dalam tiga tahap yakni tahap sistematika, komperatif dan kuantitatif. Pada tahap sistematika maka ilmu mulai menggolong-golongkan obyek empiris ke dalam kategori-kategori tertentu. Penggolongan ini memungkinkan kita untuk menemukan ciri-ciri yang bersifat umum dari anggota-anggota yang menjadi kelompok tertentu. Ciri-ciri yang bersifat umum ini merupakan pengetahuan bagi manusia dalam mengenali dunia fisik. Dalam tahap yang kedua kita mulai melakukan perbandingan antara obyek yang satu dengan obyek yang lain, kategori yang satu dengan yang lain, dan seterusnya. Kita mulai mencari hubungan yang didasarkan kepada perbandingan antara di berbagai obyek yang kita kaji. Tahap selanjutnya adalah tahap kuantitatif di mana kita mencari hubungan sebab akibat tidak lagi berdasarkan perbandingan melainkan berdasarkan pengukuran yang eksak dari obyek yang sedang kita selidiki. Bahasa verbal berfungsi dengan baik dalam kedua tahap yang pertama namun dalam tahap yang ketiga maka pengetahuan membutuhkan matematika. Lambing-lambang matematika bukan saja jelas namun juga eksak dengan mengandung informasi tenang obyek tertentu dalam dimensi-dimensi pengukuran.
            Di samping sebagai bahasa maka matematika juga berfungsi sebagai alat berpikir. Ilmu merupakan pengetahuan yang mendasarkan kepada analisis dalam menarik kesimpulan menurut suatu pola berpikir tertentu. Matematika, menurut Wittgenstein, tak lain adalah metode berpikir logis. Berdasarkan perkembangannya maka masalah yang dihadapi logika makin lama makin rumit dan membutuhkan struktur analisis yang menjadi matematika, seperti disimpulkan oleh Berrrand Russell, “matematika adalah masa kedewasaan logika, sedangkan logika adalah masa kecil matematika”.
            Matematika pada garis besarnya merupakan pengetahuan yang disusun secara konsisten beradasarkan logika deduktif. Berrrand Russell dan Whitehead dalam karyanya yang monumental yang berjudul Principia mathematika mencoba membuktikan bahwa dalil-dalil matematika pada dasarnya adalah pernyataan logika meskipun tidak seluruhnya berhasil. Piere de fermat (1601-1655) mewariskan teorema yang terakhir yang merupakan teka-teki (enigma) yang menantang pemikiran-pemikiran matematik yang paling ulung dan tak kunjung terpecahkan. Dia menyatakan bahwa xⁿ + yⁿ dengan x, y, z dan n adalah bilangan bulat positif yang tidak mempunyai jawaban bila n = 2. Atau dengan perkataan lain hanya bilangan 1 dan 2 yang memenuhi persyaratan ini seperti 3¹ + 4¹ = 7¹ (penjumlahan biasa) dan 3² + 4² = 5². Fermat sendiri mengaku bahwa dia dapat membuktikan rumus ini namun disebabkan tempat yang terbatas. Maka sayang sekali bukti itu dapat disampaikannya. Sayang sekali memang mengapa format tidak menyertakan pembuktian rumus tersebut yang sampai sekarang tetap merupakan tantangan bagi logika deduktif meskipun secara mudah dapat didemonstrasikan kebenarannya.
            Memang tidak semua ahli filsafat setuju dengan pernyataan bahwa matematika adalah pengetahuan yang bersifat deduktif. Immanuel Kant (1724-1804) umpamanya berpendapat bahwa matematika merupakan pengetahuan sintetik a priori di mana eksistensi matematika tergantung kepada dunia pengalaman kita. Namun pada dasarnya dewasa ini orang berpendapat bahwa matematika merupakan pengetahuan yang bersifat nasional yang kebenarannya tidak tergantung kepada pembuktian secara empiris. Perhitungan matematika bukanlah suatu ekperimen, kata Wittgenstein, sebuah pernyataan matematika tidaklah mengespresikan produk pikiran (tentang obyek yang faktual).
            Di samping sarana berpikir deduktif yang merupakan aspek estetik, matematika juga merupakan kegunaan praktis dalam kehidupan sehari-hari. Semua masalah kehidupan yang membutuhkan pemecahan secara cermat dan teliti tidak mau harus berpaling kepada matematika. Dari mempelajari bintang-bintang di langit sampai mengukur panjang papan untuk membuat rumah orang memerlukan pengukuran dan perhitungan sistematik. Dalam perkembangannya maka kedua aspek estetik dan praktis dari matematika ini silih berganti mendapatkan perhatian terutama bila dikaitkan dengan kegiatan pendidikan.
            Bagi dunia keilmuan matematika berperan sebagai bahasa simbolik yang memungkinkan terwujudnya komunikasi yang cermat dan tepat. Matematika dalam hubungannya dengan komunikasi ilmiah mempunyai peranan ganda, kata Fehr, yakni sebagai ratu dan sekaligus pelayanan ilmu. Di satu pihak, sebagai ratu matematika merupakan bentuk tertinggi dari logika, sedangkan di lain pihak, sebagai pelayan matematika memberikan bukan saja system pengorganisasian ilmu yang bersifat logis namun juga pernyataan-pernyataan dalam bentuk model matematik. Matematika bukan saja menyampaikan informasi secara jelas dan tepat namun juga singkat. Suatu rumus yang ditulis dengan bahasa verbal memerlukan kalimat yang banyak sekali, di mana makin banyak kata-kata yang dipergunakan maka makin besar pula peluang untuk terjadinya salah informasi dan salah interpretasi, maka dalam bahasa matematik cukup ditulis dengan model yang sederhana sekali. Matematika sebagai bahasa mempunyai ciri, sebagaimana dikatakan Morris Kline, bersifat ekonomis dengan kata-kata.
            Adanya dua system ilmu ukur yang keduanya bersifat konsisten ini bukan berarti bahwa system Ilmu Ukur Euclid atau Ilmu Ukur Non-Euclid ini bersifat benar atau salah sebab hal ini dilihat dalam ruang lingkupnya masing-masing. Matematika bukanlah merupakan pengetahuan mengenai obyek tertentu melainkan cara berpikir untuk mendapatkan pengetahuan tersebut. Kalau obyek yang ditelaah itu mempunyai cirri-ciri yang cocok dengan postulat Euclid umpamanya dalam bidang mekanika klasik Newton maka jelas bahwa ilmu ukur non-Euclid  ini tidak dapat dipakai. Sedangkan dalam pengkajian mengenal alam semesta, di mana cahaya menjadi garis lengkung bersama tarikan gravitasi dan jarak terdekat antara dua obyek tidak lagi merupakan garis lurus, maka dalam hal ini kita berpaling kepada ilmu ukur non-Euclid. Jadi kedua system ilmu ukur ini berlaku tergantung dari postulat yang dipergunakannya.
Beberapa Aliran dalam
Filsafat Matematika
Dalam bagian terdahulu telah disebutkan dua pendapat tentang matematika yakni dari Immanuel Kant (1724 – 1804) yang berpendapat bahwa matematika merupakan pengetahuan yang bersifat sintetik apriori di mana eksistensi matemaatika tergantung dari pancaindera serta pendapat dari aliran yang disebut logistic yang berpendapat bahwa matematika merupakan cara berpikir logis yang salah atau benarnya dapat ditentukan tanpa mempelajari empiris. Akhir-akhir ini filsafat Kant tentang matematika ini mendapat momentum baru dalam aliran yang disebut intuisionis dengan eksponen utamanya adlah seorang ahli matematika berkebangsaan Belanda bernama Jan Brouwer (1881-1966).
Di samping dua aliran ini terdapat pula aliran ketiga yang dipelopori oleh David Hilbert (1862-1943) dan terkenal dengan sebutan kaum formalis.
Kiranya dari pembahasan di atas Nampak jelas bahwa tidak satu pun dari ketiga aliran dalam filsafat matematika ini sepenuhnya berhasil dalam usahanya. Walaupun demikian perbedaan pandangan ini tidak melemahkan perkembangan matematika malah justru sebaliknya di mana satu aliran memberi inspirasi kepada aliran-aliran lainnya dalam titik-titik pertemuan yang disebut Black sebagai kompromi yang bersifat eklektik. Kaum logistic mempergunakan system symbol yang diperkembangkan oleh kaum formalis dalam kegiatan analisisnya. Kaum intuisionis memberikan titik tolak dalam perspektif kebudayaan suatu masyarakat tertentu yang memungkinkan diperkembangkannya filsafat pendidikan matematika yang sesuai. Ketiga pendekatan dalam matematika ini, lewat pemahamannya masing-masing, memperkukuh matematika sebagai sarana kegiatan berpikir deduktif.
Matematika dan Peradaban
            Matematika merupakan bahasa artificial yang dikembangkan untuk menjawab kekurangan bahasa verbal yang bersifat alamiah. Untuk itu maka diperlukan usaha tertentu untuk menguasai matematika dalam bentuk kegiatan belajar. Jurang antara mereka yang belajar dan mereka yang tidak (atau enggan) belajar ternyata makin lama makin lebar. Matematikanya makin lama makin bersifat abstrak dan eksoterik yang makin jauh dari tangkapan orang awam.
            Matematika tanpa kita sadari memang bisa menjadi tujuan dan bukan alat itu sendiri, seperti pengamatan anak kecil itu yang menggerutu, “Dikiranya hanya angka-angka saja mereka bisa mengetahui sesuatu”. Gejala ini kemungkinan besar disebabkan karena kita kurang mengetahui tentang hakikat yang sebenarnya dari matematika. Tulisan ilmiah umpamanya lalu berubah menjadi kumpulan rumus dan table yang tidak berbicara apa-apa. Namun pihak lain ketidaktahuan tentang matematika ini sering menyebabkan suatu bidang keilmuan terpaku pada tahap kualitatif, di mana tanpa mengurangi rasa penghargaan kita kepadanya, tetap pengkajian kualitatif dan kuantitatif ilmiah, meminjam perkataan pangeran kecil kita, ilmu sampai kepada pengetahuan yang dewasa. Analog dengan pernyataan Bertrand Russell tentang hubungan antara logika dan matematika mungkin kita bisa berkata “ilmu kualitatif adalah masa kecil dari ilmu kuantitatif, ilmu kuantitatif merupakan masa dewasa ilmu kualitatif, di mana ilmu yang sehat, seperti juga kita manusia, adalah terus tumbuh dan mendewasa.
            Angka tidak bertujuan menggantikan kata-kata; pengukuran sekadar unsure dalam menjelaskan persoalan menjadi pokok analisis utama. Teknik matematika yang tinggi bukan merupakan penghalang untuk mengkomunikasikan pernyataan yang dikandungnya dalam kalimat-kalimat yang sederhana.

2.3         Peran Statistitika Dalam  Sarana Berfikir Ilmiah
Suatu hari seorang anak kecil disuruh ayahnya membeli serbuk korek api dengan pesan agar tidak terkecoh mendapatkn korek api yang jelek. Tidak lama kemudian anak kecil itu datang kembali dengan wajah yang berseri-seri, menyerahkan kotak korek api yang kosong, dan berkata “ korek api ini benar-benar bagus, pak, semua batangnya telah saya coba dan ternyata menyala.
Tak seorang pun, saya kira, yang bisa menyalakan kesahihan proses penarikan kesimpulan anak itu, namun bila semua pengajian dilakukan seperti ini lalu bagaimana nasib tukang duren?  Demikian juga halnya dengan orng yang kecanduan lotere, bertanya pada angin dan rumput –rumput yang bergoyang, “Bagaimana caranya memenangkan nalo ? “ pertanyaan yang rumit ini jawabannya ternyata sangat sederhana, beli saja semua karcis lotere. Namun bukan dengan jalan membeli semu karcis lotere itu, tentu saja, yang menyebabkan orang tidak henti-hentinya berfikir bagaimana cara memenangkan perjudin yang berdasarkan untung-untungan ini, kita lihat dipinggir-pinggir jalan para “ ahli matematika kaki lima” menguraikn rumus-rumusnya dalam meramalkan nomor yang akan menang, campuran antara metafisika, astrologi, astral dan 1001 omong kosong (serta banyak lagi dali-dalinya termasuk sistem analisis dan input-output leontief).
            Sekitar tahun 1645, seorang ahli matematika amatir, chevalier de mere, mengajukan beberapa permasalahan mengenai judi semacm ini kepeda seorang ahli mtematika prancis blaise pascal (1623-1662), pascal, seorang jenius dalam bidang matematika, dalam umur 16 tahun telah menghasilkan karya-karya ilmiah yang mengagumkan;) dan descartes (1596-1650) pernah dikatakan tidak percaya bahwa karya-karya tersebut dihasilkan oleh anak muda itu,) pscal tertarik dengan permasalahan yang berlatar belakang teori ini dn kemudian mengadakan korespondensi dengan ahli matematika prancis lainnya pierre de fermat (1601-1665), dan keduanya mengembangkan cikal bakl teori peluang. Dikisahkan bahwa Descarts, ketik mempelajari hukum diuniversitas politiers antara tahun 1612 sampai 1616, juga bergaul dengan teman-teman yang suka berjudi, namun Descarts kebanyakan menang karena dia pandai menghitung peluang.  Pendeta thomas bayes pada tahun 1763  mengembangkan teori peluang subyektif berdasarkan kepercayaan seseorang akan terjadinya suatu kejadin. Teori ini berkembang menjadi cabang khusus dalam statistiks sebagai pelengkap teori peluang yang bersifat obyektif.)
            Peluang yang merupakan dasar dari teori statistika, merupakan konsep baru yang tidak dikenal dalam pemikiran yunani kuno, romawi dan bahkan eropa dalam abab pertengahan. Teori mengenai kombinasi bilangan sudah terdapat dalam aljabar yang dikembangkan sarja muslim namun bukan dalam ruang lingkup teori peluang. Begitu dasar-dasar peluang ini dirumuskan maka dengan cepat bidang telaahan ini berkembang.
            Konsep statistika sering dikaitkan dengan distribusi variabel ditelaah dlam suatu populasi terrentu. Abraham Demoivre (1667-1754) mengembangkan teori galat atau kekeliruan (theory of error). Pada tahun 1757 thomas simpson menyimpulkn bahwa terdapat suatu distribusi yang berlajut (continuous distribution) dari suatu variabel dalam suatu frekuensi yang cukup banyak. Pierre simon de laplace (1749-1827) mengembangkan konsep demoivre dan simpson ini telah berlanjut dan menemukan distribusi normal; sebuah konsep yang mungkin paling umum dan paling banyak dipergunakan dalam analisis statistika disamping teori peluang. Distribusi lain, yang tidak berupa kurva normal, kemudian ditemukan prancis galton (1822-1911), dan karl pearson (1857-1936).
            Teknik kuadrat terkecil (least squares) simpangan baku dan galat baku untuk rata-rata ( the standard error of the mean) dikembangkan karl friedrich gauss, (1777-1855). Pearson melanjutkan konsep-konsep galton dan mengembangkan konsep regresi,korelasi, distribusi, chi- kuadrat dan analisis statistika untuk data kualitatif disamping menulis buku the grammar of science sebuah karya klasik dan filsafat ilmu. William searly gosset, yang terkenal dengan nama samaran “student”, mengembangkan konsep tentang pengambilan contoh. Disain eksperimen dikembangkan oleh Ronald Alylmer Fisher (1890-1962) disamping analisis varians dan kovarians, distribusi-z, distribusi-t, uji sigmifikan dan teori tentang perkiraan (theory of estimation).
            Demikianlah, statistika yang relatif sangat mudah dibandingkan dengan matematika, berkembang dengan sangat cepat terutama dalam dasawarsa lima puluh tahun belakangan ini. Penelitian ilmiah, baik yang berupa survai maupun eksperimen, dilakukan dengan lebih cermat dan teliti mempergunakan teknik-teknik statistika yang diperkembangkan sesuai dengan kebutuhan. Diindonesia sendiri kegiatan yang sangat meningkat dalam bidang penelitian, baik berupa kegiatan akademik maupun untuk pengambiloan keputusan, memberikan momentum yanag baik untuk pendidikan statistika. Pengajaran filsafat ilmu dibeberapa perguruan tinggi, terutama pada pendidikan pasca sarjana, memberikan landasan yang lebih jelas tentang hakikat dan peranan statistika. Dengan memasyarakatnya berfikir ilmiah, mungkin tidak terlalu berlebihan apa yang dikatakan oleh H.G welles bahwa suatu hari berfikir statistika akan merupakan keharusan bagi manusia seperti juga membaca dan menulis. Asalkan ingat saja pada banyolan alexandra dumas (1824-1895):          
Statistika dan cara berfikir induktif
            Ilmu secara sederhana dapat didefinisikan sebagai pengetahuan yang telah teruji kebenarannya. Semua pertanyaan ilmiah adalah bersifat faktual, diman konsekuensinya dapat diuji baik dengan jalan mempergunakan pancaindra, maupun dengan mempergunakan alat-alat yang membantu pancaindra tersebut. Pengujian secara empiris merupakan salah satu mata rantai dalam metode ilmiah yang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya. Kalau kita telah lebih dalam maka pengujian merupakan suatu proses pengumpulan fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan. Sekiranya hipotesis itu didukung oleh fakta-fakta empiris maka pertanyaaan hipotesis tersebut diterima atau disahkan kebenarannya. Sebaliknya jika hipotesis tersebut bertentangan dengan kenyataan maka hipotetis itun ditolak.
            Pengujian mengharuskan kita untuk menarik kesimpulan danbersifat umum dari kasus-kasus yang bersifat individual. Umpamanya jika kita ingin mengetahui berapa tinggi rata-rata anak umur sepuluh tahun disebuah tempat maka nilai tinggi rata-rata yang dimaksud itu merupakan   sebuah kesimpulan umum yan ditarik dalam kasus-kasus anak umur sepuluh tahun ditempat itu. Jadi dalam hal ini kita menarik kesimpulan berdasarkan logika induktif dipihak lain maka penyusunan hipotesis merupakan penarikan kesimpulan yang bersifat has dari pernyataan yang bersifat umum dengan mempergunkan deduksi kedua penarikan kesimpulan ini tidak sama dan tidak boleh dicampur adukkan. Logika deduktif berpaling kepada matematika sebagai sarana penalaran penarikan kesimpulan sedangkan logika induktif berpaling kepada statistika. Statistika merupakan pengetahuan untuk melakukan penarikan kesimpulan induktif secara lebih seksama.
            Penarikan kesimpulan induktif pada hakikatnya berbeda dengan penarikan kesimpulan secara deduktif. Dalam penalaran deduktif maka kesimpulan yang tarik adalah benar sekiranya premis-premis yang dipergunakannya adalah benar dan prosedur penarikn kesimpulannya adalah sah. Sedangkan dalam penalaran induktif meskipun premis-premisnya adalah sah maka kesimpulan itu belum tentu benar. Yang dapat kita katakan bahwa kesimpulan itu adalah bahwa kesimpulan itu mempunyai peluang untuk benar. Statistika merupakan pengetahuan yang memungkinkan kita untuk menghitung tingkat peluang ini dengan eksak.
            Penarikan kesimpulan secara induktif menghadapkan kita pada sebuah permasalahan mengenai banyaknya kasus yang harus kita amati sampai kepada suatu kesimpulan yang bersifat umum. Jika kita inin mengetahui berapa tinggi rata-rata anak umur sepuluh tahun anak diindonesia, umpamanya, lalu bagaimana caranya kita mengumpulkan data untuk sampai apada kesimpulan tersebut? Tentu saja dalam hal ini maka hal yang paling logis adalah dengan jalan melakukan pengukuran tinggi badan terhadap seluruh anak umur sepuluh tahun diindonesia. Pengumpulan data seperti ini tak diragukan lagi akan menjadikan kesimpulan mengenai tinggi rata-rata amak tersebut dinegara kita. Namun kegiatan seperti ini menghadapkan kita pada masalah lain yang tak kurang rumitnya, yakni kenyataan bahwa dalam pelaksanaannya kegiatan seperti itu membutuhkan tenaga, biaya, dan waktu yang banyak sekali. Sensus yanag mempunyai arti sangat penting dalam sejarah kemanusiaan, namun mungkin kurang dikenal sebagai kejadian yang punya arti dalam perkembangan statistika adalah sensus penduduk yang dilakukan penguasa romawi, yang menyebabkan jusub dan maria harus pindah ketempat kelahirannya dimana kemudian yesus kritus dilahirkan. Dapat dibayangkan betapa kegiatan pengujian hipotesis akan mengalami hambatan yang sukar dapat diatasi sekiranya proses pengujian tersebut harus dilakukan dengan pengumpulan data seperti itu. Hal ini akan menjadikan kegiatan ilmiah menjadi suatu yang sangat mahal yang mengakibatkan penghalang bagi kemajuan bidang keilmuan.
            Untunglah dalam hal ini statistika memberikan sebuah jalan keluar, statistika memberikan cara untuk dapat menarik kesimpulan yang bersifat umum dengan jalan mengamati hanya sebagai dari popolasi yang bersangkutan. Jadi untuk mengetahui tinggi rata-rata anak umur sepuluh tahun diindonesia kita melakukan pengukuran terhadap seluruh anak yang berumur diseluruh indonesia, namun cukup hanya dengan jalan melakukan pengukuran terhadap anak saja. Tentu saja penarikan kesimpulan ini, yang ditarik berdasarkan contoh (sample) dari popolasi yang bersangkutan, tidak selalu akan setengah mati keseluruhan populasi tersebut. Namun bukankah dalam penelaah keilmuan yanag bersifat prakmatis, dimana teori keilmuan tidak ditujukan kearah penguasaan pengetahuan yang bersifat absolut, sesuatu yang tidak mutlak teliti namun dapat dipertanggung jawabkan adalah sudah memenuhi syarat? 
            Statistika mampu memberikan secara kualitatif tingkat ketelitian dari kesimpulan yang ditarik tersebut, yang pada pokoknya di dasarkan pada asas sederhana,yakni makin besar contoh yang di ambil maka makin tinggi pula tingkat ketelitian kesimpulan tersebut.sebaliknya semakin sedikit contoh yang ambil maka makin rendah pula tingkat ketelitiannya. Karakterisitik ini memungkinkan kita untuk dapat memilioh dengan seksama tingkat ketelitian yang di butuhkan sesuai dengan hakikat permasalah yang di hadapi. Tiap permasalahan membutuhkan tingkat ketelitian yan berbeda-beda. Sekiranya kita ingin mengoperasi otak manusia maka kesalahan beberapa ML saja dalam memotong jaringan yang sangat peka tebrsebut mingkin akan berakibat vatal. Pengetahuan mengenai jaringan tersebut haruslah  bersifat seteliti mungkin sebab kesalahan yang sedikit saja akan menyebabkan kerugian yang sangat besar. Namun hal ini tidak demikian halnya bila kita bandingkan dengan persoalan kita di atas mengenai tinggi rata-rata anak di indonesia. Selisih berapa cm dari tinggi rata-rata yang sebenarnya mungkin tidak akan berarti banyak seperti halnya dengan membedakan otak tersebut di atas.
Statistika juga memberikan kemampuan kepada kita untuk mengetahui apakah suatu hubungan kausalita antara dua faktor atau lebih bersifat kebetulan atau meemang benar-benar terkait dalam suatu hubungan yang bersifat empiris. Umpanya saja kita melakukan pemupukan terhadap sejimlah rumpun padi. Berdasarkan teori himpotesnya sedangkita kaji ma secara logis batang tadi yang di pupuk seharusnya bertambah tinggi. Namun bila kita teliti batan padi yang tidak di pupuk maka mungkin saja beberapa batang di antaranya juga akan bertambah tinggi di sebabkan oleh hal-hal di luar pemupukan tersebut. Hal ini bisa disebabkan oleh kesuburan tanah yang ditumbuhi batang tersebut agak baerlainan denga taanah disekitarnya, atau mungkin juga disebabkan berbagai-bagai hal lainnya berada diluar hubunggan kausalita antara tinggi bantang padi dan pemupukan. Atau degan perkataan lain, bisa saja terjadi bahwa hubungan antara tinggi batang padi degan pemupukan tersebut hanya terjadi secara kebetulan saja. Penggamatan secara pintas sering memberikan kesan kepada kita terdapatnya suatu hubunggan kau salita antara beberapa faktor, dimana kalau kita teliti lebih lanjut ternyata haya bersifat kebetulan.njadi dalam hal ini statistika berfunsi menigkatkan ketelitian penggamatan kita dalam menarik kesimpulan degan jalan menghindarkan hubungan semu yang bersifat kebetulan.       
            Terlepas dari semua itu maka dalam penarikan kesimpulan secara induktif kekeliruan tidak bisa hindarkan.dalam kegiatan penggumpulan data kita terpaksa mendasarkan kepada berbagai alat yang pada hakikatnya juga tidak terlepas dari cacat yang berupa ketidak telitian dalam penggamatan. Panca indara mnusia sendiri tidak sempurna yang bisa menggakibatkan berbagai kesalahan dalam penggamatan kita. Demikian juga degan alat-alat yang dipergunakan, semua tak ada yang sempurna. Kegiatan penggamatan paca indra manusia degan mempergunakan berbagai alat jelas meggarah kepada ke tidak telitian dalam penarikan kesimpulan. Diatas semua ini statistika memberikan sifat yang pragmatis pada penelahaan keilmuan; dimana dalam kesadaran bahwaa suatu kebenaran absolut tidak mungkin dapat dicapai, kita berpendirian bahwa suatu kebenaran yang dapat dipertanggung jawabkaan dapat diperoleh.
            Penarikan kesimpulan secara statistik memungkinkan kita untuk melakukan kegiatan ilmiah secara ekonomis, dimana tanpa statistika hal ini tak mungkin daapat dilakukan. Atau dipihak lain, kita melakukan penarikan kesimpulan induktif secara tidak sah, degan mengacaukan logika induktif degan logika deduktif. Karakteristik yang dipunyai statistika ini sering dikurang dikenali degan baik yang menyebabkan orang sering melupakan pentingnya statistika dalam penelahaan keilmuan. Loika lebih banyak dihubungkan degan matematika daan jarang sekali dihubungakan degan staatistika, pahal hanya logika deduktif  yang berkaitan dengan matematika sedangkan  logika industif justru berkaitan dengan statistika. Hal ini menimbulkan kesan seakan-akan funsi matematika lebih tinggi dibandingkan degan statistika dalam penelaahan keilmuan. Secara haakiki keduanya mempunyai kedudukan yang sama dalam penarikan kesimpulan induktif seperti matematika dalam penarikan kesimpulan secara deduktif. Demikin jagu penarukan kesimpulan deduktif dan induktif  keduanya mempunyai kedudukan yang sama pentingnya dalam penelaahan keilmuan. Pada suatu pihak, jika kita terlalu mementingkan logika deduktif maka kita mundur kembali kepada empirisme. Ilmu dalam perkembangan sejarah peradaban manusia telah menggambungkan kedua pendekatan ini dalam bentuk metode ilmiah yang mendasarkan diri kepada keseimbangan maka harus dijaga pula keseimbanagan antara pengetahuan tentang matematika dan statistika ini. Untuk itu pendidikan statistika harus ditingkatkan agar setaraf dengan matematika. Peningkatan ini bukan saja mencakup aspek-aspek teknis namun lebih penting lagi mencakup pengetahuan mengenai hakikat statistika dalam kegiatan metode ilmiah secara keseluruhan. Pendidikan statistika, menurut Ferguson, pada hakikatnya adalah pendidikan dalam metode ilmiah.
Karakteristik Berfikir Induktif                                                                                   
            Kesimpulan yang didapat dalam berfikir deduktif merupakan hal yang pasti, dimana jika kita mempercayai premis-premis yang dipakai sebagai landasan penelarannya, maka kesimpulan penalaran tersebut juga dapat kita percayai kebenarannya sebagimana kita mempercayai premis-premis terdahulu. Hal ini tidak berlaku dalam kesimpulan yang tertarik secara induktif, meskipun premis yang dipakainya adalah benar dan penalarannya induktifnya adalah sah, namun kesimpulannya mungkin saja salah. Logika induktif tidak memberikan kepastian namun sekedar tingkat peluang bahwa hidup premis-premis tersebut dapat ditarik. Jika selama bulan oktober dalam beberapa tahun hujan selalu turun, maka kita tidak bisa memastikan bahwa selama bulan oktober tahun ini juga akan turun hujan. Kesimpulan yang dapat ditarik dalam hal ini hanya pengetahuan mengenai tingkat peluang untuk hujan dalam tahun ini juga akan turun.
            Statistika merupakan pengetahuan yang memungkinkan kita untuk menarik kesimpulan secara induktif berdasarkan peluang tersebut. Dasar dari teori statistika adalah teori peluang. Teori peluang merupakan cabang dari matematika secangkan statistika sendiri merupakan disiplin tersendiri. Menurut bidang pengkajiannya statistika dapat kita bedakan sebagai statistika teoretis dan statistika terapan. Statistika teoritis merupakan pengetahuan yang mengkaji dasar-dasar teori statistika, dimulai dari teori penarikn contoh, distribusi, penaksiran dan peluang. Statistika terapan merupakan penggunaan statistika teoritis yang sesui dengan bidanag penerapannya. Disini diterapkan atau dipraktekkan teknik-teknik penarikan kesimpulan seperti cara mengambil sebagi populasi sebagai contoh bagaimana cara menghitung rentangan kekeliruan dan tingkat peluang, bagaimana menghitung harga rata-rata dan sebagainya.
            Kegiatan ilmiah memerlukan penelitian untuk menguji hipotesis yang diajukan. Penelitian pada dasarnya merupakan pengamatan dalam empiris apakah hipotesis tersebut memang didukung oleh fakta-fakta. Jika umpamanya kita mempunyai hipotets bahwa orang muda suka musik pop namun tidak musik keroncong maka kita harus melakukan pengujian untuk memperhatikan bahwa hipotesis tersebut benar, dengan jalan pengumpulan fakta mengenai kesukan musik orang-orang muda. Tentu saja kita tidak bisa mengadakan wawancara dengan seluruh orang muda dan untuk statistika terapan memberikan jalan bagaimana memilih sebagaian orang muda tersebut sebagai contohnya yang refresentif dan obyektif dari seluruhan populasi orang muda tersebut. Demikian juga statistika memberikan jalan bagaimana menarik kesimpulan yang bersifat umum dari contoh tersebut dengan tingkat peluang dan kekeliruannya. Jelaskan kiranya bahwa tanpa menguasai statistika adalah tak mungkin untuk dapat menarik kesimpulan induktif dengan sah.
            Bahwa penguasaan statistika mutlak diperlukan untuk dapat berfikir ilmiah dengan sah seringkali dilupakan orang. Berfikir logis secara deduktif sering kali dikacaukan dengan berfikir logis secara induktif. Kekecauan logika inilah yang meyebabkan kurang berkembangnya ilmu dinegara kita. Kita cenderung untuk berfikir logis cara deduktif dan menerapkan prosedur yang sama untuk kesimpulan induktif. Dalam hipotesis terdahulu mengenai kesukaan musik orang muda tidak jarang kita langsung menarik kesimpulan berdasarkan wawancara kita dengan beberapa orang muda yang kebetulan kita kenal. Prosedur penarikan kesimpulan yan bersubyektif ini, yang sumber pada kekacauan penggunaan  logika induktif dan deduktif, merupakan salah satu penghalang kemajuan ilmu, sebagai kesimpulan yang ditarik adalah tidak sah . kesimpulan seperti ini sukar untuk diterima sebagai premis untuk berfikir selanjutnya.
            Untuk mempercepat perkembangan kegitan keilmuan di negara kita maka penguasaan berfikir induktif dengan statistika sebagai alat berfikirnya harus mendapatkan perhatian yang sungguh-sunguh. Dalam perjalanan sejarah statistika memang sering dapat tempat yang kurang statistika yang berupa data yang dikumpulkan disebabkan data yang dapat disulap atau kurang dapat dipercaya maka tumbuhlah secara sossiologis kata-kata bersayap seperti yang di ucapkan diseraeli yang mengatakan bahwa terdapat tiga jenis kedustaan yakni “ dusta, dusta besar dan statistik dan tanda”. Salah paham ini supayabukan sekedar milik akhli politik bahwa penyair W.H. auden pun ikut bersajap. Dalam kegitan ilmiah harus di bekali degan pengguasaan statistika yang cukup agar kesimpulan yang ditariknya merupakan kesimpulan ilmih yang sah. Statistika harus mendapat tempat yang sejajar dengan matematika agar keseimbangan berfikir deduktif dab induktif yang merupakan ciri dari berfikir ilmiah yang dapat dilakukan degan baik.
            Akhli statistika takusa berkecil hati degan pandangan negatif dengan statistika ini, sebab hal yang serupa, pernah berlaku juga untuk matematika. tak kutang dari filsuf schopenhuer (1788-1860) yang mengangap bahwa berhitung merupakan aktifitas aktifitas mental yang paling rendah sebab hal ini dapat dilakukan dengan mesin. Demikian juga st.agustinus pernah bekata,” hati-hati terhadap ahli matematika dan mereka yang membuat ramalan-ramalan dusta|!”))
            Statistika merupakan sarana berfikir yang diperlukan untuk memproses penggetahuan secara ilmiah makan statistika membuat kita untuk membantu kita untuk melakukan generalisasi dan terjadi secara kebetulan. Sekiranya terhadapat seorang gila dalam sepuluh orang yang berkebetulan berkumpul bersama-sama maka berdasarkan akal sehat kemungkinan besar yang seorang itulah yaang akan yang disebut orang gila. Meskipun tentu saja, penilaian orang tidak selalu sama seperti seorang mahsiswa yang mempunyai teori siknifikasi dalam bercinta:
                                    Minta cium kepada sepuluh gadis
                                    Yang kau jumpai dijalan
                                    Meski kau ditampar sembilan
                                    Bukankah kesepuluh yang menentukan?
(Dia menulis teori ini, sewaktu profesor matematika, membicarakan geometri non-  euclidean )  

Aksiologi : nilai kegunaan ilmu

Mengalami zaman edan
Kita sulit menentukan sikap
Turut edan tidak tahan
Kalau tidak turut edan
Kita tidak kebagian
Menderita kelaparan
Tapi dengan bimbingan tahun
Betapa bahagia pun mereka yang lupa
Lebih bagaia yang ingat serta waspada
                                                  
(Amenangi jaman edan
Ewuh aya ing pambudi
Melu edan ora tahan
Yen tan melu anglakoni
Boya kaduman melik
Kaliren wekasanipun
Dilalah kersa allah
Begja-begjane kang lali
Luwih begja kang eling lan waspada)

D.      Peran Logika Dalam Sarana Berfikir Ilmiah

Logika adalah sarana berpikir sistematis, valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Karena itu berpikir logis adalah berpikir sesuai dengan aturan-aturan berpikir. Hukum-hukum pikiran beserta mekanismenya dapat digunakan secara sadar dalam mengontrol perjalanan pikiran yang sulit dan panjang itu.
a.       Aturan Cara Berpikir yang Benar
Kondisi adalah hal-hal yang harus ada supaya sesuatu dapat terwujud, dapat terlaksana. Untuk berpikir baik, yakni berpikir benar, logis-dialektis, juga dibutuhkan kondisi-kondisi tertentu:
·         Mencintai kebenaran
Sikap ini sangat fundamental untuk berpikir yang baik, sebab sikap ini senantiasa menggerakkan si pemikir untuk mencari, mengusut, meningkatkan mutu penalarannya;  manggerakkan si pemikir untuk senantiasa mewaspadai “ruh-ruh” yang akan menyelewengkannya dari yang benar. Misalnya, menyederhanakan kenyataan, menyempitkan cakrawala/perspektif, berpikir terkotak-kotak. Cinta terhadap kebenaran diwujudkan dalam kerajinan (jauh dari kemalasan, jauh dari takut sulit, dan jauh dari kecerobohan) serta diwujudkan dengan kejujuran, yakni disposisiatau sikap kejiwaan(dan pikiran) yang selalu siap sedia menerima kebenaran meskipun berlawanan dengan prasangka dan keinginan/kecenderungan pribadi atau golongannya.
·         Ketahuilah (dengan sadar) apa yang sedang Anda kerjakan
Kegiatan yang sedang dikerjakan adalah kegiatan berpikir. Seluruh aktivitas intelek kita adalah suatu usaha terus menerus mengejar kebenaran yang diselingi dengan diperolehnya pengetahuan tentang kebenaran tetapi parsial sifatnya. Untuk mencapai kebenaran, kita harus bergerak melalui berbagai macam langkah dan kegiatan.
·         Ketahuilah (dengan sadar) apa yang Anda katakana
Pikiran diungkapkan ke dalam kata-kata. Kecermatan pikiran diungkapkan ke dalam kecermatan kata-kata, karenanya kecermatan ungkapan pikiran ke dalam kata merupakan sesuatu yang tidak boleh ditawar lagi. Anda senantiasa perlu menguasai ungkapan pikiran kedalam kata tersebut. Waspadalah terhadap term-term ekuivokal (bentuk sama, tetapi arti berbeda), analogis (bentuk sama, arti sebagian sama sebagian berbeda). Ketahuilah pula perbedaan kecil arti (nuansa) dari hal-hal yang Anda katakan.
·        Buatlah distingsi (pembedaan) dan pembagian (klasifikasi) yang semestinya
Jika ada dua hal yang tidak mempunyai bentuk yang sama, hal itu jelas berbeda.  Tetapi banyak kejadian dimana dua hal atau lebih mempunyai bentuk sama, namun tidak identik. Disinilah perlu dibuat suatu distingsi, suatu pembedaan. Karena realitas begitu luas, perlu diadakan pembagian ( klasifikasi). Peganglah suatu prinsip pembagian yang sama, jangan sampai Anda menjumlahkan bagian atau aspek realitas prinsip klasifikasi yang sama.
·         Cintailah definisi yang tepat
Penggunaan bahasa sebagai ungkapan sesuatu kemungkinan tidak ditangkap sebagaimana yang akan diungkapkan atau yang dimaksudkan. Karenanya jangan segan membuat definisi. Definisi artinya pembatasan, yakni membuat jelas batas-batas sesuatu. Hindari uraian-uraian yang tidak jelas artinya.
·         Ketahuilah (dengan sadar) mengapa Anda menyimpulkan begini atau begitu
Anda harus bisa dan biasa melihat asumsi-asumsi, implikasi-implikasi, dan konsekuensi-konsekuensi dari suatu penuturan (assertion), pernyataan, atau kesimpulan yang Anda buat. Jika bahan yang ada tidak cukup atau kurang cukup untuk menarik kesimpulan, hendaknya orang menahan diri untuk tidak membuat kesimpulan atau membuat pembatasan-pembatasan (membuat reserve) dalam kesimpulan.
·         Hindarilah kesalahan-kesalahan dengan segala usaha dan tenaga, serta sangguplah mengenali jenis, macam, dan nama kesalahan, demikian juga mengenali sebab-sebab kesalahan pemikiran (penalaran)
Dalam belajar logika Ilmiah (scientific) Anda tidak hanya mau tahu hukum-hukum, prinsip-prinsip, bentuk-bentuk pikiran sekadar untuk tahu saja. Anda perlu juga;
1.      Dalam praktik, menjadi cakap dan cekatan berpikir sesuai dengan hukum, prinsip, bentuk berpikir yang betul, tanpa mengabaikan dialektika, yakni proses perubahan keadaan. Logika ilmiah melengkapi dan mengantar kita untuk menjadi cakap dan sanggup berpikir kritis, yakni berpikir secara menentukan karena menguasai ketentuan-ketentuan berpikir yang baik.
2.      Selanjutnya sanggup mengenali jenis-jenis, macam-macam, nama-nama, sebab-sebab kesalahan pemikiran, dan sanggup menghindari, juga menjelaskan segala bentuk dan sebab kesalahan dengan semestinya.

b.      Klasifikasi
Sebuah konsep klasifikasi, seperti “panas” atau “dingin”, hanyalah menempatkan objek tertentu dalam sebuah kelas. Pertimbangan yang berdasarkan klasifikasi tentu saja lebih baik daripada tak ada pertimbangan sama sekali. Misal; terdapat tiga puluh lima orang yang melamar pekerjaan yang membutuhkan kemampuan tertentu, dan perusahaan yang akan menerima mempunyai psikolog harus menetapkan cara-cara pelamar dalam memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Ahli psikologi tersebut membuat klasifikasi kasar berdasarkan keterampilan, kemampuan dibidang matematika, stabilitas emosional, dan sebagainya. Ketiga puluh lima orang tersebut dibandingkan dengan pengetahuan yang berdasarkan klasifikasi kuat, lemah dan sedang, kemudian ditempatkan dalam urutan berdasarkan kemampuannya masing-masing.
c.       Aturan Definisi
Definisi secara etimologi adalah suatu usaha untuk memberi batasan terhadap sesuatu yang dikehendaki seseorang untuk memindahkannya kepada orang lain. Sedangkan pengertian definisi secara terminologi adalah sesuatu yang menguraikan makna lafadz kulli yang menjelaskan karakteristik khusus pada diri individu. Definisi yang baik adalah  jami’ wa mani (menyeluruh dan membatasi). Hal ini sejalan dengan kata definisi itu sendiri, yaitu definite (membatasi).

0 komentar:

Posting Komentar